Ayahnya bernama R. Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo dan ibunya bernama R.A. Saparinten Mangunbisono. Sebagai anak Asisten Wedana, SK Trimurti mengenyam pendidikan sejak kecil. Setelah lulus Tweede Inlandsche School (TIS), sang ayah memintanya melanjutkan ke Meisjes Normaal School (MNS), yakni sekolah guru wanita selama empat tahun. Dia sempat mengikuti praktik latihan sebagai guru Ongko Loro di Alun-alun Kidul Kota Solo dan berlanjut mengajar murid khusus perempuan di Banyumas. SK Trimurti pertama kali mengenal mesin ketik dan kelak menjadi perangkatnya sebagai wartawan, saat aktif di perkumpulan koperasi. Dia juga terlibat aktif dalam rapat-rapat yang diadakan Budi Utomo (BU) cabang Banyumas. Sejak mengenal sepak terjang Bung Karno melalui bacaan dan radio SK Trimurti sangat mengagumi Bung Karno. Pada kisaran bulan Agustus hingga September 1932, ia pertama kali melihat sekaligus mendengar langsung pidato Bung Karno yang tengah mengadakan rapat umum di Purwokerto, Jawa Tengah.
Tak lama setelah itu, SK Trimurti memutuskan meninggalkan rutinitasnya sebagai guru, dan memilih bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia). Partindo merupakan partai politik yang berdiri 1 Mei 1931 setelah PNI dibubarkan tahun 1930. Bung Karno bergabung ke Partindo pada Agustus 1932, dengan tercatat sebagai anggota Partindo cabang Bandung. “Saya sendiri masuk partai politik itu (Partindo) pada tahun 1933. Waktu itu saya berada di Bandung. Saya berguru pada Bung Karno,” kata SK Trimurti dalam Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Di Partindo, SK Trimurti mulai mengenal dunia jurnalistik. Atas dorongan Bung Karno, ia pertama kalinya menulis di surat kabar mingguan Fikiran Rakyat. Dari Fikiran Rakyat yang kemudian tutup, SK Trimurti lebih dalam menceburkan diri ke jurnalistik. Ia menulis di surat kabar Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo. Kemudian bersama-sama temannya di Solo, pada tahun 1935 mendirikan majalah bahasa Jawa, Bedug yang tak lama kemudian, berganti nama Terompet. Keaktifannya di organisasi PMI (Persatuan Marheini Indonesia) membuat SK Trimurti ditangkap kolonial Belanda dan ditahan selama 9 bulan di Penjara Wanita Bulu, Semarang. Bebas dari penjara tahun 1937, ia kembali aktif di dunia pergerakan dan jurnalistik. SK Trimurti banyak menulis di majalah Suluh Kita dan Sinar Selatan.
Editor : Stefanus Dile Payong