Saat Belanda masuk, pendidikan menjadi lebih terarah lantaran ada penggunaan bahasa yang jelas, yakni bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Kala itu, Belanda menancapkan kekuasaannya dengan usaha-usaha di bidang pendidikan. Salah satunya pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada warga Belanda terkait pengetahuan umum dan khusus tentang Indonesia. Diperkirakan, ada sekitar 31 sekolah di Ambon dan 26 sekolah di Kepulauan Lease.
VOC, kongsi dagang Belanda yang waktu itu sedang berjaya juga memerlukan tenaga pembantu atau staf dari masyarakat pribumi demi menggerakkan roda kekuasaannya. Maka dari itu, pendidikan sewajarnya diberikan Belanda agar para pribumi ini bisa melaksanakan tugasnya. Instansi pendidikan juga dimanfaatkan Belanda untuk membentuk kepribadian pribumi yang loyal dan dapat diandalkan. Contohnya komunitas imigran Kristen yang ada di Ambon.
Belanda mengeluarkan buku ajar pertamanya di tahun 1611. Buku tersebut berisi tentang penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa asing pertama di Nusantara dengan judul Ab Boeck, terbitan VOC. Buku berbahasa Melayu tersebut kemudian hilang dan tak diketahui bagaimana nasibnya. Pendidikan Barat terus mendominasi di Nusantara, hingga masa VOC berlalu di tahun 1799 dan kerajaan Belanda mengambil alih wilayah Nusantara pada tahun 1800.
Ada beberapa jenis sekolah di masa penjajahan Belanda, yani ELS (Europeesche Lagere Shool) atau SD yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa dan siswa pribumi yang orang tuanya merupakan tokoh berpengaruh atau bangsawan. Bahasa pengantar yang digunakan Belanda. ELS dibentuk pemerintah Belanda pada tahun 1817. Masih setingkat SD, ada pula HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang merupakan sekolah khusus bumiputera dengan bahasa dasarnya Belanda. Sekolah ini berdiri pada 1914 ketika politik etis berlaku.
Editor : Stefanus Dile Payong