MALANG, iNewsBelu.id - Pertandingan sepak bola sudah menjadi hiburan dan tontonan bagi semua kalangan masyarakat tampa membedakan usia. Kegemaran akan sepak bola ini juga sama mintai oleh kakak-beradik bersinisial RADH (14) dan YN (25). Namun siapa sangka jika kegemaran dan keinginan menikmati indahnya pertandingan itu justru berubah mejadi sebuah tragedi yang menewaskan hingga 131 orang dalam tragedi kericuhan di stadion Kanjuruhan.
Ketika mata terasa perih dan sulit terbuka akibat gas air mata, mereka seperti sudah melupakan sepak bola dalam dalam kehidupannya. Maklum saja, mereka nyaris kehilangan nyawa di Stadion Kanjuruhan. RADH ingat betul ketika duel Arema FC vs Persebaya Surabaya berakhir.
Saat itu kondisi di tribun 10 yang ditempatinya menonton lanjutan laga Liga 1 2022/2023 itu berjalan seperti biasanya sesuai pertandingan. Tak ada tanda-tanda ada kerusuhan.
Tapi, dalam hitungan menit, entah dari mana asalnya ada tembakan gas air mata yang mengarah ke tribun penonton. “Semua berhamburan, saya waktu itu mau keluar di gate 12,” jelasnya.
RADH tak bisa memastikan satu per satu temannya maupun saudaranya. Matanya perih, dan lampu stadion yang tiba-tiba mati. Dia hanya terfokus untuk bisa secepatnya menuju pintu keluar di gate 12. Upayanya masih menemukan banyak rintangan karena orang-orang yang berhamburan begitu penuh sesak.
“Nggak bisa jalan, penuh sesak. Semuanya panik sejak gas air mata ditembakkan,” ungkapnya. Dia tak mampu melihat arah dan hanya terdorong ke sana kemari dengan jumlah penonton yang terus terdesak ke bagian sisi arah keluar ke gate 12.
Dalam kondisi itu, RADH masih menahan rasa sakit di mata dan mulai mual. Di depannya dilihat banyak penonton yang pingsan dan terinjak-injak penonton lainnya. Kondisinya langsung drop dan tak bisa mempertahankan diri.
Mata perih mengurangi pandangannya. Dia akhirnya pingsan di tangga keluar gate 12. “Saat pingsan saya sampai terjatuh dua meter dari tangga, nggak ada yang menolong waktu itu,” kenangnya.
Setelah beberapa saat, RADH akhirnya siuman. Namun, kepala serta seluruh badannya terasa sakit. Dia nggak tahu berapa lama dirinya pingsan. RADH mengaku baru bisa sadar ketika mau dibawa ke rumah sakit. “Tapi saat di rumah sakit nggak dapat pertolongan, jadi langsung ke rumah,” jelasnya.
Kisah serupa juga dialami kakaknya, YN. Sampai saat ini dia belum tahu alasan kenapa gas air mata ditembakkan ke arah tribun penonton. “Karena nggak ada kerusuhan apa-apa di tribun. Tiba-tiba langsung ditembak begitu saja ke arah tribun,” katanya. YN termasuk suporter yang selamat ketika terjebak di pintu keluar gate 13. Dia mengalami kejadian horor di sepanjang upaya untuk keluar dan lautan manusia yang berdesakan tidak ada jalan untuk keluar.
DI mengaku sudah tak bisa merasakan anggota tubuhnya. Sebab, kaki sudah di atas dan kepala sudah berada di bawah.
“Jadi kepala saya itu masuk ke besi di tangga. Posisi kepala ada di bawah,” kenang YN. Baik RADH maupun YN sudah tak lagi memikirkan tentang sepak bola. Kakak beradik itu trauma melihat pertandingan langsung di stadion. Kejadian dan tragedi yang ada di Kanjuruhan menjadi momen kelam dalam kehidupan mereka. Sampai hari ini, mereka berdua masih belum pulih. Mata RADH masih merah dan sesak. Demikian juga denga YN yang masih terus batuk-batuk dan sejak nafas akibat gas air mata yang menyerang mereka.
Sebelumnya, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) mengunjungi sejumlah korban tragedi Kanjuruhan baik berat, sedang, dan ringan. Beberapa korban sakit akibat gas air mata. Pertama ada FCCN (14) yang mengalami pendarahan dalam mata, sesak napas, dan batuk-batuk. Retina matanya sampai detik ini tidak ada warna putihnya.
Mereka juga menemui dua bersaudara RADH dan YN. Sang adik mengalami pendarahan dalam mata dan kakaknya sampai detik ini masih batuk dan sesak napas. Begitu juga MI yang juga mengalami pendarahan dalam mata serta luka luka di kaki dan pinggang akibat terinjak-injak. Sementara AAA asal Jember masih dirawat dengan mata merah, kaki dan tangan patah.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 09 Oktober 2022 - 15:00 WIB oleh Aan Haryono dengan judul "Cerita Kakak-Beradik yang Selamat dari Tragedi Kanjuruhan".
Editor : Stefanus Dile Payong