Pancaroba Belum Usai, Waspada Hujan pada Sore dan Malam Hari hingga Awal Juni 2025 di NTT

Binti Mufarida, Evan Payong
Ilustrasi cuaca ekstrem (Foto : MPI )

JAKARTA, iNewsBelu.id  - Sebagian besar wilayah Indonesia masih menunjukkan pola peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, yang dikenal dengan istilah masa pancaroba. Pada periode ini, pola cuaca umumnya cenderung cerah berawan pada pagi hingga menjelang siang hari, lalu berubah menjadi hujan disertai petir pada sore hingga malam hari.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, dalam sepekan ke depan hingga 2 Juni 2025, wilayah Indonesia masih dipengaruhi pola peralihan musim yang ditandai dengan perbedaan suhu udara yang signifikan pada pagi hingga siang hari.

"Proses konvektif yang tinggi pada pagi hingga siang hari akibat intensitas radiasi matahari, menyebabkan pertumbuhan potensi hujan lokal pada sore hingga malam hari,” tulis BMKG dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (28/5/2025).

Meskipun, dalam sepekan terakhir sejumlah wilayah di Indonesia mengalami hujan sangat lebat (100-150 mm/hari) hingga hujan ekstrem (>150 mm/hari) yang memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang. Hujan sangat lebat hingga ekstrem tercatat pada 19 Mei 2025 di Kota Ambon, Maluku (199.9 mm/hari) dan Kabupaten Gresik, Jawa Timur (103.3 mm/hari); 20 Mei 2025 di Kepulauan Tanimbar, Maluku (107.0 mm/hari); serta tanggal 21 Mei 2025 di Kota Tangerang, Banten (118.4 mm/hari).

BMKG melaporkan hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di beberapa wilayah dipengaruhi beberapa fenomena atmosfer yang signifikan. MJO (Madden-Julian Oscillation) terpantau berada pada fase 4 (Maritime Continent), yang berkontribusi terhadap pembentukan awan hujan, terutama di bagian barat Indonesia.

“Selain itu, gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial, Low Frequency, dan Kelvin diperkirakan akan terus aktif selama sepekan mendatang, berpotensi mempengaruhi pola cuaca di berbagai daerah. Keberadaan sirkulasi siklonik dan labilitas atmosfer yang tinggi juga memberikan peluang untuk meningkatkan pertumbuhan awan hujan yang dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama,” paparnya.

Di sisi lain, jelas BMKG, labilitas atmosfer skala lokal di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan juga turut meningkatkan mekanisme konvektif yang mampu membentuk awan-awan hujan pada skala lokal di Indonesia bagian selatan. Interaksi pada skala regional yang dipengaruhi oleh terbentuknya front dingin di Australia bagian selatan, secara tidak langsung ikut memicu terbentuknya sirkulasi siklonik/sistem tekanan rendah di wilayah selatan Indonesia.

BMKG menyatakan, mengingat sifat dinamis atmosfer yang sangat mudah berubah, masyarakat diimbau untuk selalu menjaga kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem. Meskipun, beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa masih berpotensi mengalami hujan dengan durasi yang lama, namun karakteristik masa transisi berupa hujan deras dalam waktu singkat, yang sering disertai kilat, petir, dan angin kencang, masih dapat terjadi secara mendadak di sebagian besar wilayah di Indonesia.

“Oleh karena itu, penting untuk tetap waspada dan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi risiko dari dampak cuaca ekstrem tersebut,” imbaunya.

Editor : Stefanus Dile Payong

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network