Menurutnya, ada tiga isu yang dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi dan menghambat pelaksanaan Reformasi. Ketiganya adalah status Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan kelompok sparatis di Irian Jaya (Papua).
Menurutnya, dari ketiga masalah itu, status Timor Timur yang harus segera diselesaikan. Sebab, provinsi ke-27 RI itu masih dipermasalahkan oleh Dewan Keamanan PBB. Sementara GAM dan kelompok separatis di Irian Jaya tidak mendapatkan dukungan PBB.
"Saya berpendapat dan berkeyakinan, sebelum presiden dan wakil presiden dipilih oleh para anggota Sidang Umum MPR hasil pemilu yang akan datang, masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan. Penyelesaian Timor Timur harus tuntas dan dapat diterima oleh masyarakat Timor Timur, Indonesia, internasional," kata BJ Habibie dalam buku berjudul 'Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan'.
Untuk menentukan langkah penyelesaian Timor Timur, BJ Habibie mempelajari sejarah Timor Timur dan mendengar masukan dari para tokohnya. Ia lalu mengundang Uskup Dili, Carlos Filipe Ximenes Belo dan Uskup Baucau, Basilio do Nascimento untuk bertemu di Kantor Presiden, Bina Graha. Namun Uskup Nascimento berhalangan hadir.
Dalam pertemuan yang berlangsung 1,5 jam, Uskup Belo menyampaikan catatan mengenai Timor Timur. Salah satu yang diminta adalah jaminan hak kebebasan penduduk asli untuk bepergian ke mana saja dan menetap di mana saja tanpa membatasi ruang gerak mereka. Uskup Belo mengungkapkan adanya pemaksaan menetap di permukiman yang dibangun di sepanjang jalan umum demi mempermudah pengontrolan oleh aparat keamanan.
"Mengapa rakyat tidak dapat bergerak di rumahnya sendiri? Alasan keamanan tidak cukup untuk melarang. Bahkan rakyat Indonesia dapat bebas bergerak di seluruh wilyah NKRI, atas tanggung jawab sendiri," kata Habibie.
Dari pertemuan dengan Uskup Belo, Presiden BJ Habibie mengambil kesimpulan bahwa masalah Timor Timur harus segera diselesaikan dan tidak boleh membebani proses reformasi. Pimpinan nasional harus memberi perhatian penuh pada kepentingan reformasi secara nasional, yang berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Kekuatan luar negeri tidak boleh diberi kesempatan untuk memanfaatkan masalah Timor Timur sebagai alasan untuk turut campur dalam proses reformasi.
Dari mendengarkan masukan dari para tokoh, BJ Habibie juga mengikuti kronologis perkembangan Timor Timur di dunia internasional. Meski telah ditetapkan UU Nomor 7 Tahun 1976 tertanggal 17 Juli 1976, tapi status integrasi Timor Timur dengan Indonesia terus dipersoalan masyarakat dunia. Pada 19 November 1976, Sidang Umum PBB menyatakan menolak aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur. Upaya Indonesia meningkatkan status hukum melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1978, juga tak mengubah pandangan internasional.
Mereka berpandangan bahwa keputusan Presiden Soeharto mengirimkan pasukan ke Timor Timur adalah menyalahi aturan internasional. Habibie juga mengakui bahwa Timor Timur berbeda dengan provinsi lain yang sudah menjadi bagian NKRI sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 karena ada kesamaan nasib dijajah oleh kolonial Belanda. Sementara integrasi Timor Timur karena situasi yang terjadi saat itu.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait