get app
inews
Aa Read Next : Longsor dan Terhalang Truk Terbalik Jalan Trans Timor di NTT Lumpuh Total

Terselip Kisah Pilu di Kunjungan Presiden Jokowi ke Timor Tengah Selatan

Kamis, 24 Maret 2022 | 19:32 WIB
header img
Anak-anak stunting (Foto: Daily pioneer)

TIMOR TENGAH SELATAN. iNews.id - Presiden Joko Widodo diagendakan berkunjung ke Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Soe, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), hari ini, Kamis, 24 Maret 2022. Hadirnya orang nomor satu di Indonesia tersebut untuk melihat secara langsung kondisi stunting yang masih tinggi di sana.

Ya, Timor Tengah Selatan tercatat sebagai kabupaten dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Menurut data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting di Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen.

Desa Kesetnana secara khusus menjadi lokasi kunjungan Presiden Joko Widodo karena termasuk desa yang berisiko tinggi stunting. Selain warga kesulitan mendapatkan akses air bersih, faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan menjadi potensi keamanan terhadap kesehatan. Hampir sebagian besar warga Desa Kesetnana tidak memiliki jamban yang layak.

Lebih lanjut, dipilihnya Timor Tengah Selatan dalam kunjungan Presiden Joko Widodo kali ini memperlihatkan wujud perhatian penuh pemerintah untuk penanganan persoalan angka stunting yang tinggi.

"Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori 'merah'. Pengkategorian status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen," terang laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang diterima MNC Portal, Kamis (24/3/2022).

Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara juga memiliki prevalensi di atas 46 persen.

Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus 'kuning' dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Nagekeo mendekati status 'merah'.

"Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen," ungkap laporan BKKBN.

Di sisi lain, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menjelaskan bahwa Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua provinsi di Tanah Air yang mencapai 24,4 persen.

"Persoalan tingginya stunting di NTT bukan hanya persoalan kesehatan dan kekurangan gizi, tetapi juga karena kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan," terangnya.

Hasto menambahkan, faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, serta pola asuh yang salah turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting.

"Langkah konkret yang diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting adalah pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja," paparnya.

Yayasan Seribu Cita Bangsa (1000 Days Fund) yang sejak 2018 meluncurkan program pencegahan stunting melalui intervensi di tingkat desa menggunakan alat edukasi yang inovatif dan mudah disebar seperti poster pintar serta selimut cerdas agar mudah dipahami warga.

"Ketika pertama kali kami datang ke desa tempat kami melaksanakan program untuk pertama kalinya, sebagian besar masyarakat tidak mengenal apa itu stunting, apa kaitannya dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan, dan bagaimana caranya mengoptimalkan pertumbuhan anak serta mencegah mereka dari stunting," jelas Jessica Arawinda, Ketua Yayasan Seribu Cita Bangsa.

Program pertamanya, sambung Jessica, menunjukan perubahan perilaku dan kebiasaan orangtua dan pengasuh yang signifikan. Intervensi dalam bentuk informasi dan pengetahuan mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan.

Diketahui, 1000 Days Fund bahkan berinisiatif mengajukan anggaran dana desa yang lebih besar untuk berbagai kebutuhan ibu dan anak serta kebutuhan posyandu. 

"Kami ingin pengetahuan dan kesadaran ini kemudian menghasilkan efek domino yang mendorong perubahan-perubahan lain yang lebih pro terhadap perempuan dan anak di desa-desa tempat kami melakukan program," tambah Jessica.

Tanoto Foundation yang juga terlibat aktif dalam penanganan stunting di Timor Tengah Selatan, mengakui kerjasama kolaboratif dengan BKKBN sangat strategis karena mengatasi persoalan keterbelakangan pendidikan dari sektor hulu.

"Jika masalah stunting bisa kita atasi dari awal maka kami percaya tingkat pendidikan masyarakat juga akan meningkat. Tanoto sangat peduli dengan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang menjadi garda depan BKKBN dalam upaya akselerasi percepatan penurunan stunting dan komunikasi perubahan perilaku di masyarakat," ungkap ECED Adviser Tanoto Foundation Widodo Suhartoyo.

Selain 1000 Days Fund dan Tanoto Foundation, Nestle, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Danone, Dexa Group, serta Bulog berpartisipasi aktif dalam partisipasi bareng BKKBN di Timor Tengah Selatan.

"BKKBN bersama para mitra kerja merasa optimis, target penurunan prevalensi stunting dari 48,3 persen di 2021 turun menjadi 43,01 persen di akhir 2022, serta terus melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023 dan kemudian di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen," ungkap Hasto.

Editor : Stefanus Dile Payong

Follow Berita iNews Belu di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut