Kisah Duet Maut Luhut Pandjaitan dan Prabowo Pimpin Detasemen Antiteror Kopassus

JAKARTA, iNews.id - Jenderal Luhut Pandjaitan masih berpangkat mayor saat mengusulkan perlunya satuan antiteror di tubuh Komando Pasukan Sandi Yudha atau Kopassandha (kemudian menjadi Kopassus). Mayor Luhut Pandjaitan menyampaikan gagasannya kepada Letnan Jenderal Benny Moerdani atau LB Moerdani yang di tahun 1981 itu menjabat sebagai Asintel Hankam.
Benny Moerdani mengiyakan. “Usul disetujui,” tulis Hendro Subroto dalam buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Usulan yang dikemukakan perlu adanya satuan antiteror dipengaruhi kekayaan pengalaman militer yang dimiliki Luhut. Luhut Pandjaitan pernah dikirim ke Negara Inggris.
Dia menimba ilmu militer di Special Air Service (SAS) Angkatan Darat Kerajaan Inggris di Hereford. Kemudian juga digembleng di Special Boat Squadron (SBS), yakni Marinir Angkatan Laut Kerajaan Inggris di Poole, Dorset, Inggris.
SBS merupakan pasukan komando yang memiliki spesialisasi under water operation, terutama dalam hal sabotase dan demolisi. Di masa damai sebagian anggota SBS bertugas mengamankan pengeboran minyak bumi lepas pantai di Laut Utara.
Luhut dan Prabowo Subianto disebutkan memiliki pengalaman pendidikan militer luar negeri yang sama. Keduanya juga berkesempatan menyaksikan latihan satuan anti teror GIGN Angkatan Laut Perancis di Perancis Selatan.
Kemudian juga melihat langsung latihan satuan antiteror Marinir Kerajaan Belanda. Selain itu pernah belajar di US Army’s Special Forces di Fort Bragg, North Carolina, Amerika Serikat.
“Letjen LB Moerdani memerintahkan mereka berdua untuk shopping ke beberapa negara guna memperoleh bekal dan pengalaman dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kegiatan teroris di Indonesia di masa datang”.
Mayor Luhut Pandjaitan kemudian dipercaya memimpin detasemen antiteror yang diusulkannya, dengan Prabowo Subianto sebagai wakil komandannya. Detasemen antiteror itu diberi nama Detasemen 81/Anti Teror. Soal nama itu, LB Moerdani sempat meminta Luhut bertanya kepada Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI M Jusuf.
Disampaikan bahwa angka 81 merujuk pada waktu pembentukan detasemen pada akhir tahun 1981. Jenderal Jusuf langsung menyatakan setuju. Dia memiliki tafsir angka 81 bila dijumlahkan 9 yang diyakini sebagai angka paling bagus. Hal itu sama dengan call sign pesawat Hercules yang biasa dipakainya, yakni A-1314, yang ketika dijumlahkan juga 9.
“Itu sudah betul. Saya setuju nama Detasemen 81/Anti Teror,” kata M Jusuf seperti dikutip dari Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Sebagai komandan, Mayor Luhut Pandjaitan langsung mengisi anggota Detasemen 81/Anti Teror dari anggota Kopassus yang terbaik. Dia menarik para anggota pilihan yang sebagian besar anak didik Sintong Panjaitan. Mengacu dari pasukan khusus di Inggris, Jerman dan Amerika Serikat, Luhut menginginkan setiap anggota di kelompoknya memiliki spesialisasi. Mulai spesialis penembak runduk, pendaki serbu, komunikasi, kesehatan, demolisi, dan peralatan.
Setiap anggota Detasemen 81/Anti Teror minimal memiliki satu spesialisasi. Di dalam organisasi terdapat komandan kelompok-kelompok sesuai spesialisasi masing-masing, yang setiap saat bisa berubah menyesuaikan kebutuhan operasi.
Ada empat tim yang semuanya memiliki kemampuan dasar sama, yakni antiteror. Keempat tim itu merupakan tim siaga untuk menghadapi terorisme, tim anti gerilya, tim yang dipersiapkan dengan terus latihan, dan tim pasukan katak untuk tugas underwater, yakni utamanya tugas demolisi. Den 81/Anti Teror memadukan antara organisasi SAS dan SBS sehingga menjadi satuan yang paling lengkap.
Editor : Stefanus Dile Payong