Badan Bahasa Gandeng Polres Belu Sosialisasikan Bahasa Hukum di Perbatasan*
ATAMBUA, iNews.id – Banyaknya masyarakat terjerat hukum karena unggahan di media sosial menjadi keprihatinan Badan Bahasa Perwakilan Nusat Tenggara Timur (NTT). Terlebih masih banyak pula masyarakat termasuk penegak hukum yang belum sepenuhnya dapat membedakan kritik, hoaks, fitnah dan pencemaran nama baik.
Didasari hal tersebut, Badan Bahasa Perwakilan NTT hadir untuk memberikan pemahaman tentang bahasa hukum bagi para penegak hukum di Polres Belu. Melalui pemahaman ini diharapkan penanganan kasus yang berkaitan dengan UU Transaksi dan Informasi elektronik polisi dapat memilah dengan tepat pasal yang diterapkan dan masyarakat tidak dikorbankan serta menghindari benturan.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Bahasa Perwakilan NTT Syaiful Bahri Lubis saat sosialisasi bahasa hukum bersama jajaran Tim Reskrimsus Polres Belu, jaksa, hakim, Peradi maupun lembaga bantuan hukum atau pengacara di wilayah Belu-Malaka dan media di aula Reskrim pada Kamis (10/6/2021).
"Jadi terkait sudut pandang bahasa dari sudut pandang hukum tidak seorang pun boleh berbicara maupun menulis. Kalau zaman dulu, istilahnya mulutmu harimau mu, maka sekarang jarimu harimaumu," kata Syaiful.
Dia mengatakan, sosialisasi ini merupakan yang pertama dilakukan di NTT pada 2021. Sosialisasi tersebut akan menyasar 5 wilayah hukum Polres yakni Polres Belu, menyusul Polres TTU, lanjut TTS. Setelah itu, menyebrang ke polres Sumba Barat Daya, dan penutup di Polres Flores Timur.
Badan Bahasa menggandeng kelima polres tersebut untuk menyosialisasikan bahasa dan hukum, mengacu pada UU nomor 24 Tahun 2009 dikaitkan dengan UU ITE. Karena masyarakat kita terkadang tidak tahu dan paham, tapi menulis dan mengucap sesuatu yang bisa saja masuk pada ranah ujaran kebencian, pencemaran nama baik maupun hal sejenisnya.
Syaiful melanjutkan, sosialisasi bahasa dan hukum akan terus dilakukan pada tahun mendatang dengan tujuan menekan sedini mungkin supaya tidak terjadi banyak kasus. Dengan demikian masyarakat akan sadar dari waktu ke waktu dan tidak sembarangan lagi pada waktu mendatang.
Advokat yang tergabung dalam Peradi Malaka, Priskus Klau, senang dengan sosialisasi bahasa hukum ini. Sebagai penasihat hukum dirinya juga menyadari kadang masyarakat selalu melaporkan kasus penghinaan di medsos ke penyidik, tak semua berlanjut.
Ada yang dibiarkan, tidak ada juga surat perintah penyidikan (SP3) maupun hasil penyidikan perkara. Padahal masyarakat awam tidak mengetahui bahasa hukum yang digunakan untuk ujaran tertentu yang berdampak hukum.
“Misalnya penasihat hukum membela korban yang sudah melakukan screenshot orang yang memaki atau menghinanya di medsos lalu dilaporkan ke Polres khususnya reskrimsus. Tetapi, pihak reskrim mengatakan kasus tersebut harus konsultasi ke ahli bahasa, ahli ITE, dan pidana,” ucapnya.
“Sehingga sosialisasi ini sangat membantu dalam menangani kasus ITE ke depan. Tetapi sosialisasi ini harus lebih ke masyarakat karenaa masyarakat lah yang sering mengalami penghinaan, fitnah dan caci maki," ujar Priskus.
Dia juga mengingatkan, unsur untuk mentersangkakan orang harus dilihat ada mekanismenya atau tidak. Apalagi sudah ada surat edaran Kapolri dan UU ITE yang sudah direvisi sehingga penegak hukum mesti paham jika korban mau memaafkan pelaku pemfitnahan, caci maki, atau penghinaan maka restoratif justice dapat dijalankan dengan baik.
"Sosialisasi juga perlu masif di pengadilan karena terkadang hakim menggunakan penerjemah yang awam terhadap bahasa baku, bahasa prokem," kata Priskus.
"Sementara Aipda Mesakh Boymau, kanit Tipiter Polres Belu dalam materinya menyampaikan, kasus penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi di UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3 di Belu sudah berulang kali terjadi."
Mengacu pada Surat Edaran Kapolri terkait UU ITE, penyidik dituntut mampu membedakan mana kritik dan mana hoaks, sehingga penegakan hukum di masyarakat benar-benar berkeadilan.
Selain itu, setiap kasus ITE harus ada ruang bagi kedua pihak baik pelaku maupun korban untuk mediasi. Jadi kalau korban penghinaan, pemfitnahan, dan pencemaran nama baik menerima permintaan maaf dari pelaku, kasus tersebut wajib dihentikan.
“Tetapi, seandainya korban pemfitnahan maupun pencemaran nama baik sudah dimediasi kepolisian dan korban tidak mau damai, proses hukum atas kasus tersebut tetap berjalan. Sebab upaya hukum adalah upaya terakhir, dan mediasi tidak selamanya damai,”
Boy Mau juga mengakui Polres Belu belum memiliki alat untuk mengungkap kasus penghinaan, fitnah dan pencemaran nama baik yang menggunakan akun palsu. Karena itu dirinya selaku Kanit Tipiter berupaya mencari hacker untuk membasmi akun palsu di grup facebook wilayah hukum Belu.
Editor : Stefanus Dile Payong