JAKARTA, iNews.id - Bicara tenun, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah surganya. Dari Timor, Flores, Rote, Shabu, higgga di Sumba tenun sudah seperti harta karun yang tak pernah habis ditambang. Bahkan tenun dari Sumba telah melanglang buana ke beberapa negara sejak puluhan tahun silam.
Pada masa kolonial Belanda (sesudah 1920), tenun dari Sumba telah menjadi dekorasi rumah, berujud selimut, dan aksesori lain di Negeri Kincir Angin sana. Padahal, tenun Sumba dulu dibuat hanya untuk keperluan masyarakat dalam merespons siklus kehidupan manusia: kelahiran, perkawinan, sampai kematian.
Membayar bellis (seserahan) dengan memberikan emas dan kain tenun pada perkawinan atau melapisi jenazah raja dengan berlapis-lapis kain tenun merupakan budaya di Sumba. Selain dipakai untuk sehari-hari, kain tenun di Sumba kerap menjadi media komunikasi atau negosiasi.
“Tenun bagi orang Sumba merupakan “benang bernyawa” yang membawa pesan bagi pemakainya,” kata Nury Sybli, pegiat wastra nusantara dalam paparannya di kegiatan sapawastra Sumba. “Melalui motif kita diberi tahu batasan-batasan prilaku hidup, cerita tentang keseharian, sejarah perjuangan nenek moyang. Kita juga diajak menghormati makhluk hidup dan banyak lagi cara nenek moyang membangun kebudayaan melalui tenun,” paparnya.
Nury mengatakan, untuk lebih jauh mengetahui makna pakaian yang memiliki tradisi panjang seperti tenun, perempuan-perempuan Indonesia hendaknya lebih giat lagi mengeksplorasi dan mempelajarinya lebih dalam. “Akan baik juga sambil memakai kain-kain tradisional, kita bisa mempelajari makna dan pesan yang terkandung di setiap lembarnya,” ujarnya. Menurutnya, tak hanya tenun yang memberi pesan. Batik, jumputan, lurik, songket, ulos, karawo, lipa’ pun memiliki makna dan ada pitutur dari orang tua, khususnya Ibu.
“Tak hanya Sumba, semua tenun yang dibuat di tanah air ini kaya makna dan pesan untuk kehidupan,” kata Nury . Ibu satu putri ini menjelaskan, tenun dari Sumba pada prosesnya mengalami kerumitan tersendiri, baik dalam pewarnaan maupun pembuatan motifnya. Untuk tenun ikat dikerjakan selama dua sampai lima bulan, tergantung ukuran dan kerumitan motif. Berbeda lagi dengan pahikung yang pembuatannya bisa memakan waktu hingga tahunan jika benang yang digunakan dari kapas pintal (pahudur).
“Setiap lembar kain yang lahir dari tangan para seniman tenun tidak akan sama persis dengan lembaran kain lain karena tenun dibuat dengan cerita dan imajinasi para penenun masing-masing. Seperti lukisan, setiap helainya memberikan gambaran kreativitas, imaji, dan suasana hati dari para penenun. Motif-motif itu sudah mati di kepala perempuan,” papar Nury yang giat mengampanyekan kain-kain nusantara melalui sapawastra.
Ada dua jenis tenun tradisional khas Sumba: kain hinggi untuk lelaki dan lau pahikung untuk perempuan. Hinggi berwarna cokelat atau biru tarum, sedangkan lau pahikung memilliki motif dekoratif dengan sambungan hasil jahitan tangan hingga membentuk sarung. Membaca Motif Tenun dari Sumba memiliki motif yang sangat kaya.
Ada motif tulang ikan, lobster, ayam, burung, kuda, rusa, singa, kucing, gajah, buaya, ular, bunga, ranting, pucuk rebung, kepala manusia, pohon andung (penggalan kepala/tengkorak), perempuan menari, hingga simbol rahim perempuan. Keanekaan motif itu mencerminkan masyarakat Sumba yang menganut agama Marapu (animisme).
“Mereka percaya pada reinkarnasi dan ada kehidupan baru setelah mati. Jadi, kalau kita lihat motif mamuli, atau kuda tunggang, misalnya, dengan mudah kita mengenali itu adalah tenun dari Sumba,” papar Nury. Di kalangan masyarakat Sumba, kuda atau njara merupakan simbol kejantanan, kepemimpinan, serta kepahlawanan. Motif ini dikaitkan dengan adat kebiasaan menunggang kuda ketika berperang dan menggunakan kuda sebagai pengangkut. Selain itu, kuda melambangkan keagungan dan kebanggaan yang dikaitkan dengan status sosial. Keberadaan kuda bagi masyarakat Sumba sangat penting.
Selain memiliki nilai ekonomi tinggi, menjadi tunggangan, dan menjadi bagian penting dalam upacara-upacara adat, kuda kerap menjadi alat untuk membayar bellis perkawinan. Sifat kuda yang setia dalam kawanannya juga menjadi inspirasi kehidupan orang-orang Sumba. Maka, pada motif tenun dari Sumba pun kita sering menjumpai kuda bersayap atau kuda terbang, atau kuda poni yang diyakini sebagai kuda pertama sebelum kedatangan kuda sandel.
Motif kuda tunggang memiliki ceritanya sendiri. Kuda-kuda yang tergambar dengan sosok manusia itu menggambarkan peperangan dan perlawanan. Di situ kuda disimbolkan sebagai hewan yang memiliki jasa dan kekuatan yang besar bagi lelaki Sumba. Lelaki Sumba sepertinya ditakdirkan menjadi penunggang kuda ulung.
Selama berabad-abad, mereka terus mengandalkan keuletan hewan berkaki empat sebagai sahabat perjalanan untuk menempuh medan-medan berat berbatu. Pada saat yang sama, perempuan Sumba dilahirkan untuk mejaga pradaban melalui benang-benang bermotif, tenun. Perempuan sumba menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menenun kain dengan memintal benang kapas (pahudur) dan meramu warna dari bahan-bahan alam.
Nury yang beberapa waktu silam menulis buku tenun mengatakan, busana kaum lelaki umumnya lebih mewah. Pada acara kebesaran, kaum lelaki memakai kain-kain besar untuk dililitkan di bagian bawah, sebagain untuk selendang dan kepala. Meski demikian, hal yang berhubungan dengan tenun sepenuhnya menjadi urusan tangan perempuan.
“Walau sekarang sudah banyak lelaki yang menekuni pewarnaan alam, dulunya laki-laki dilarang ikut mencelupkan kain dalam pewarnaan,” jelasnya. Lebih lanjut Nury menjelaskan, Rusa, atau disebut motif ruha juga menjadi pilihan. Motif ruha melambangkan kemuliaan dan kebijaksanaan yang dimiliki kaum bangsawan. Dulu hanya kalangan bangsawan yang diperbolehkan memburu rusa sehingga corak rusa pada mulanya terdapat pada kain-kain bangsawan saja.
“Selain motif kuda dan hewan lain, ada motif yang tidak ditemukan pada tenun dari daerah lain, yaitu motif andung, atau panji kepahlawanan. Konon, pada masa peperangan dulu, kepala musuh yang dibawa pulang oleh pejuang akan digantung di pohon di halaman rumah. Motif ini ditemui hampir di semua wilayah pembuatan tenun di Sumba Timur,” papar Nury Sybli.
Ada lagi yang menarik dalam pemilihan motif, sambungnya, yakni motif mamuli. Bentuknya seperti lambang omega atau kelamin perempuan. Mamuli dimaknai sebagai simbol kesuburan perempuan, di mana kehidupan manusia pertama dimulai. Melalui motif mamuli kita diajak memberi penghormatan setinggi-tingginya kepada Ibu, kepada perempuan. Mamuli, selain menjadi motif tenun, juga menjadi aksesori perhiasan yang dibuat dari emas, perak, atau tembaga.
Maka, bagi setiap orang yang akan menikah, perhiasan mamuli menjadi maharnya. Dari situ pula bisa dimengerti bila peran ibu sangat penting dalam menentukan pasangan mempelai.
“Motif-motif ini lahir dari imaji para perempuan yang ingin memberi pesan bagi anak cucunya. Tetapi ada sebagian motif yang juga hasil akulturasi dari beberapa negara,“ katanya. Motif patola, sambungnya, adalah hasil pengaruh dari India sebagaimana batik Cinde di Jawa. Orang Sumba membuat motif patola bunga dan patola ratu yang banyak dijumpai di tenun ikat Kambera dan songket Pau.
Motif patola diperdagangkan oleh saudagar India ke berbagai benua lebih dari seratus tahun silam. Maka, tidak perlu diherankan jika tenun-tenun Tanah Air sangat beragam karena pengaruh semacam itu. Masyarakat Sumba ini selain membuat motif patola ratu pada tenun mereka, juga membuat motif patola gajah atau tau tunggul gajah (manusia menunggang gajah). Selain hewan, manusia pun menjadi salah satu pilihan motif Sumba. Motif orang menari, orang gila, orang menunggang kuda, orang menunggang gajah dilukiskan pada kain-kain tenun di Sumba. Ada pula ana tau, motif manusia telanjang yang menyimbolkan kepolosan, kesendirian, ketakutan, kemiskinan, berserah, dan permohonan kepada Tuhan agar mendapat pengasihan dalam menjalani kehidupan.
Keguguran janin pun digambarkan pada motif tenun dari Sumba. Namanya katiku kamawa, sebuah pola tengkorak bayi tetapi anggota tubuhnya tidak lengkap. Motif ini menyimbolkan roh halus sebagai ungkapan kasih.
“Sehelai tenun adalah cara seorang ibu, cara perempun, bertuah. Tuah itu divisualkan pada narasi kehidupan, alam raya, flora dan fauna yang diceritakan lewat tangan-tangan terampil. Mereka menghitung helai-demi helai benang agar menemukan sebuah pola yang sarat makna dan doa. Jadilah tenun tak sekadar hamparan benang bercorak, tapi pesan kehidupan yang ingin disampaikan nenek moyang,” papar Nury yang tak ingin kain-kian nusantara tergilas jaman.
Dia menegaskan, berbagai tenun dari Sumba itu akan terus lestari sepanjang kehadirannya menjadi suatu keharusan dalam upacara adat dan orang Indonesia mau memakainya di banyak kesempatan. Mengenalkan Tenun Sumba Langkah nyata agar kain-kain tradisional terus lestari, Nury mengajak perempuan Indonesia untuk berkain dengan gembira.
“Gak mesti berkain itu harus sesuai aturan adat, atau memenuhi seluruh unsur setiap daerahnya. Pakai tenun bisa dipadankan dengan boots atau sneaker, aksesoris yang menarik dan berkaos oblong. Karena kita pakai untuk sehari-hari, bukan upacara adat,” katanya.
Karena sedang mengenalkan kain-kain Sumba, maka dalam kesempatan ini Nury dan teman-teman #berkaingembira memakai sarung pahikung, witikau, ikat Sumba, aksesoris mamuli. Iie Nursam, salah seorang yang ikut berkain pahikung, merasa bahagia mendapatkan ilmu baru tentang motif kain Sumba yang sarat makna dan pesan.
“Saya tau tenun Sumba udah lama tapi gak pernah pakai, karena gak tau caranya. Setelah mendapat penjelasan saya jadi makin cinta pada Indonesia,” ujarnya. Hal serupa dirasakan Saphira, Elya, Gie, dan Heni. Para perempuan ini mengaku, semakin banyak pengetahuan tentang wastra (kain-kain tradisional) semakin pula paham bahwa perempuan Indonesia itu cerdas.
“Saya gak ragu lagi pakai kain, karena kain-kain tenun itu selain cantik juga sangat sopan dipakainya,” kata Saphira menutup kegiatan berkain Sapawastra Sumba.
Editor : Stefanus Dile Payong