get app
inews
Aa Read Next : Kebakaran Hebat, Dokumen dan Alsintan Milik UPT Perbenihan dan Pertanian NTT Hangus Terbakar

Siapa Sangka Pemulung Sampah Ini Ternyata Wadir STIM Kupang, Motifnya Bikin Salut

Jum'at, 22 Oktober 2021 | 08:15 WIB
header img
Karolus Belmo,Wakil Direktur I bidang Akademik Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Kupang, foto diantara sampah palstik yang ia pungut setiap hari.

KUPANG, iNews.id - Memungut sampah atau menjadi pemulung bagi sebagian masyarakat mungkin hanya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah atau bahkan tidak mengenyam pendidikan secara baik serta sulit menembus dunia kerja. Namun bagi Karolus Belmo, pekerjaan memungut sampah bukanlah hina baginya.


Jabatan mentereng sebagai Wakil Direktur I bidang Akademik Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Kupang tidak menjadikan dia berbangga atau minder saat menjadi pemulung. Karolus merupakan dosen STIM Kupang yang menganggap pekerjaan memungut sampah menjadi kepuasan tersendiri bagi dirinya.

Memungut dan menjual sampah bukan semata-mata untuk menambah penghasilan dan pendapatan, tetapi lebih pada panggilan jiwa atas tanggung jawab kebersihan lingkungan.


Bagi sarjana S1 jebolan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, NTT ini, menjadi pemulung justru karena kecintaannya pada lingkungan.


"Sampah memang peluang menghasilkan uang, tapi bukan sekadar tujuan itu yang saya kejar. Saya cinta kebersihan," ujarnya saat ditemui di Kompleks kampus STIM Kupang, Kamis (21/10/2021).


Sejak awal tahun 2019, memungut sampah dan menjadi pemulung sudah dilakoninya Setiap hari mulai pukul 05.00 WITA hingga pukul 06.30 WITA, dia menyusuri Jalan Adisucipto hingga kampus Undana. Bahkan terkadang dia mencari sampah hingga ke Pantai Warna Oesapa, Kota Kupang.


Berbekal karung, dia mulai memungut botol plastik, kaleng bekas, kardus maupun sampah lainnya dan dibawa pulang ke mess kampus yang menjadi tempat tinggalnya.


Aksi memungut sampah juga bahkan menjadi 'aksi protes' bagi magister pendidikan jebolan Universitas Negeri Malang Jawa Timur ini atas rendahnya kesadaran masyarakat Kota Kupang menjaga kebersihan.


Rata-rata warga berpendidikan menengah ke atas merupakan kelompok masyarakat yang sering tidak taat membuang sampah.


"Dari atas mobil, mereka membuang sampah begitu saja tanpa ada kesadaran akan kebersihan," katanya.


Karolus pun tidak malu memungut sampah dan menjadi pemulung. Dia tidak minder saat ada mahasiswa, rekan sesama dosen atau kerabat yang melihatnya memungut sampah.


"Justru saya berharap mahasiswa saya lebih sering menemukan saya memungut sampah karena secara tidak langsung saya sudah menasehati mereka tentang kebersihan," ucapnya.

Rasa malu dan minder juga sempat dirasakan keluarga. Orang tua dan mertuanya menentang keras aksi Karolus menjadi pemulung.


"Terkadang istri saya menjadi sasaran mendapatkan peringatan dari orang tua dan mertua saya tidak sepantasnya saya memungut sampah," katanya.

Namun dia mengakui kalau ini sudah lama menjadi kebiasaannya. 


"Saya selalu memberikan alasan bahwa hidup ini singkat sehingga kita memberikan yang terbaik bagi lingkungan. Menjadi pemulung bukan pekerjaan hina sehingga kita tidak perlu gengsi," ucapnya.


Soal hasil sampah yang dikumpulkan, dia mengakui kalau sampah-sampah tersebut dikumpulkan di rumahnya untuk dibersihkan dan dijual.


Sampah botol gelas plastik bekas yang sudah dibersihkan dijual Rp6.000 per kilogram dan yang belum dibersihkan Rp4.000 per kilogram.


Botol plastik bekas seharga Rp4.000 per kilogram. Dos/kardus bekas Rp1.000 per kilo dan kaleng bekas Rp3.000 per kilogram.
Barang-barang ini dijual kepada pedagang barang bekas. Dia juga menyiapkan tempat penampungan dan pengumpulan barang bekas.

Diakuinya kalau kuantitas sampah di Kota Kupang apalagi di jalanan cukup tinggi sehingga sampah tidak pernah habis.
Selaku dosen di STIM Kupang, Karolus Belmo juga mengajar mata kuliah etika bisnis mencakup tentang etika lingkungan dan ekologi dengan mencintai kebersihan.


Di akhir sesi perkuliahan, dia mengajak mahasiswanya melakukan aksi bersih-bersih di Pantai Warna Oesapa guna menumbuhkan rasa kecintaan lingkungan dan kebersihan kepada mahasiswa.

"Saya menjadi pemulung karena saya melihat kesadaran kebersihan warga sangat rendah," ujarnya.

Editor : Stefanus Dile Payong

Follow Berita iNews Belu di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut