JAKARTA, iNews.id - Usai Salat Idul Fitri, masyarakat bersalam-salaman. Lalu pulang ke rumah istirahat sebentar. Tidak lupa, makanan ringan hingga berat tersaji di meja untuk para tamu. Tidak berselang lama, satu persatu tetangga datang ke rumah. Kegiatan bersalam-salaman dan saling memaafkan ini, terjadi hampir di semua pelosok negeri.
Tidak hanya di rumah, di pinggir jalan saat bertemu sahabat, orang tua, semua berhenti sekedar untuk bersalaman dan maaf-memaafkan. Acara pun berlanjut mengunjungi rumah orang tua, saudara, sahabat dan teman kerja. Bahkan, untuk melaksanakan kegiatan ini, masyarakat rela mudik berbarengan agar bisa Lebaran di kampung halaman.
Siapa sangka, budaya Lebaran yang dikenal sebagai halalbihalal ini dicetuskan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah dan Soekarno. Tidak banyak yang mengetahui sejarah halalbihalal ini. Berikut ulasan singkat Cerita Pagi edisi Lebaran. Berawal pada tahun 1945, usai proklamasi kemerdekaan. Seperti diketahui, usai proklamasi kemerdekaan, masyarakat Indonesia terpecah belah. Pemberontakan terjadi di mana-mana, mulai dari peristiwa DI/TII, hingga Madiun Affair.
Melihat kondisi bangsa seperti itu, Bung Karno sang proklamator bersedih hati. Pada 1948, saat pertengahan Ramadhan, dia lalu memanggil KH Abdul Wahab Hasbullah ke Istana Negara, untuk meminta saran dan pendapatnya.
Dalam pertemuan dengan Bung Karno itu, KH Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan agar dilakukan silaturahmi nasional untuk mengikuti kembali tali silaturahmi dan persaudaraan umat di NKRI.
"Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain," jawab Bung Karno. "Itu gampang," timpal KH Wahab. "Begini, para elite politik kan tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga, silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bihalal," jelas KH Wahab.
Sejak itu, istilah halalbihalal masih tetap dikenal. Bahkan telah menjadi budaya bagi umat Muslim di Indonesia. Budaya ini tidak dikenal di negara-negara Islam, seperti di Timur Tengah misalnya. Setelah salat Idul Fitri, tidak ada kegiatan salam-salaman dan maaf-memaafkan secara massal seperti yang ada di Indonesia. Yang ada hanya beberapa orang yang saling berjabatan tangan, sebagai tanda keakraban satu dengan yang lainnya.
Dengan kegiatan ini, diharapkan masyarakat kembali bersatu. Mereka yang awalnya bermusuhan kembali bisa saling maaf-memaafkan. Mereka yang awalnya tidak mau duduk bersama, mulai hidup rukun kembali. Sumber tulisan: 1. Muhammad Izzul Islam An Najmim, Pluralitas dalam Bingkai Nasionalisme, Telaah atas Pemikiran & Perjuangan KH. Abdul Wahab Hasbullah, CV Jejak (Jejak Publisher), Buku Elektronik. 2. Seto Galih Pratomo, Nasionalisme Pemuda, Pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asyari, Literasi Bangsa, 2021. 3. Rosidin, Mata Air Dakwah, Media Surya Atiga Malang, Buku Elektronik.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait