JAKARTA, iNews.id - Sejarah pendidikan Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan. Sekolah modern sudah dikenal sejak abad ke-16, tepatnya ketika bangsa Portugis menginjakkan kakinya di Tanah Air.
Dalam buku lawas milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bertajuk ‘Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan’ disebutkan, pada tahun 1546, ada tujuh kampung di Ambon, Maluku, yang telah memeluk agama Katolik Roma. Di sekolah Katolik itu, mereka mendapat pelajaran agama dan dilengkapi dengan pelajaran baca, tulis, berhitung dan pemahaman bahasa Latin.
Namun, tidak diketahui secara pasti bahasa apa yang digunakan oleh para pengajar dan masyarakat Ambon kala itu dalam kegiatan belajar-mengajar. Pendidikan dengan menerapkan sistem Barat dilakukan di Kepulauan Maluku Selatan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sekolah modern pertama didirikan oleh orang Portugis berada di Kesatuan Daerah, yang semua penduduknya telah memeluk agama Kristen Katolik.
Saat Belanda masuk, pendidikan menjadi lebih terarah lantaran ada penggunaan bahasa yang jelas, yakni bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Kala itu, Belanda menancapkan kekuasaannya dengan usaha-usaha di bidang pendidikan. Salah satunya pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada warga Belanda terkait pengetahuan umum dan khusus tentang Indonesia. Diperkirakan, ada sekitar 31 sekolah di Ambon dan 26 sekolah di Kepulauan Lease.
VOC, kongsi dagang Belanda yang waktu itu sedang berjaya juga memerlukan tenaga pembantu atau staf dari masyarakat pribumi demi menggerakkan roda kekuasaannya. Maka dari itu, pendidikan sewajarnya diberikan Belanda agar para pribumi ini bisa melaksanakan tugasnya. Instansi pendidikan juga dimanfaatkan Belanda untuk membentuk kepribadian pribumi yang loyal dan dapat diandalkan. Contohnya komunitas imigran Kristen yang ada di Ambon.
Belanda mengeluarkan buku ajar pertamanya di tahun 1611. Buku tersebut berisi tentang penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa asing pertama di Nusantara dengan judul Ab Boeck, terbitan VOC. Buku berbahasa Melayu tersebut kemudian hilang dan tak diketahui bagaimana nasibnya. Pendidikan Barat terus mendominasi di Nusantara, hingga masa VOC berlalu di tahun 1799 dan kerajaan Belanda mengambil alih wilayah Nusantara pada tahun 1800.
Ada beberapa jenis sekolah di masa penjajahan Belanda, yani ELS (Europeesche Lagere Shool) atau SD yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa dan siswa pribumi yang orang tuanya merupakan tokoh berpengaruh atau bangsawan. Bahasa pengantar yang digunakan Belanda. ELS dibentuk pemerintah Belanda pada tahun 1817. Masih setingkat SD, ada pula HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang merupakan sekolah khusus bumiputera dengan bahasa dasarnya Belanda. Sekolah ini berdiri pada 1914 ketika politik etis berlaku.
Melalui ELS itulah, siswa yang belajar wajib menggunakan bahasa Belanda di lingkungan sekolah dan pergaulan sehari-hari. Meskipun demikian, mereka dapat berbicara menggunakan bahasa lain dengan orang tua atau kerabatnya di rumah. Setingkat SMP, pemerintah Belanda menyediakan HBS (Hoogere Burgershool) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwjs).
Perbedaan keduanya terletak pada lama masa belajarnya. Jika HBS hanya menuntut siswa belajar selama 5 tahun, MULO hanya mewajibkan siswanya untuk bersekolah selama 3 tahun. Sisi positifnya HBS, siswa bisa langsung melanjutkan pendidikannya ke institusi pendikan tinggi setingkat universitas, tanpa perlu melanjutkan ke SMA.
Data pada tahun 1915 menyebutkan, HBS hanya tersebar di beberapa kota seperti Semarang, Bandung, Surabaya, dan Jakarta (Batavia). Sementara itu, sekolah di zaman Belanda yang setingkat dengan SMA adalah AMS atau Algemeene Middelbare School.
Tak lengkap rasanya bila tidak mengulas tokoh pendidikan yang paling berpengaruh di Indonesia jika membahas perkembangan pendidikan, terkhusus bagi para pribumi. Salah satunya Ki Hadjar Dewantara. Mengutip informasi resmi yang ada dalam laman Kemendikbud, Ki Hadjar Dewantara memberikan pemikiran bahwa pendidikan hanya bertujuan untuk menuntun kodrat yang ada pada anak-anak atau siswa. Dengan demikian, mereka mampu menggapai keselamatan dan kebahagiaan. Pola pendidikan yang diberikan Belanda terkesan membatasi dan tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat pribumi untuk mendapatkan pendidikan sepadan. Karena itu, Ki Hadjar yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922 di Yogyakarta.
Melalui lembaga pendidikan tersebut, dia berharap bahwa kesempatan dan hak pendidikan bagi kaum pribumi bisa dinikmati secara merata dan sama, tanpa membeda-bedakan antara kaum priyayi dan masyarakat biasa. Ki Hadjar Dewantara kemudian dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan dianugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 305 Tahun 1959.
Tokoh pendidikan lain yang juga terkenal adalah RA Kartini. Baginya, pendidikan adalah alat yang ampuh untuk memajukan pendidikan sebuah bangsa. Ia menyuarakan kesetaraan gender. Menurutnya perempuan harus mendapatkan pendidikan yang layak, sama seperti kaum pria. RA Kartini pun mendirikan sekolah yang diikuti oleh kaum perempuan pribumi. Tokoh-tokoh yang berjasa telah memajukan pendidikan Islam di Indonesia juga tak terhitung jumlahnya.
Satu di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan. Melansir jurnal bertajuk ‘Gagasan Dasar dan Pemikiran Pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan’, dikatakan bahwa KH Ahmad Dahlan prihatin ketika menyaksikan kaum pribumi amat terpuruk di tengah gempuran kondisi global. Politik yang dibawa Belanda juga sangat berpotensi menghancurkan anak bangsa. Maka dari itu, pendidikan merata wajib dimiliki oleh seluruh masyarakat tanpa pandang bulu.
Di tangan sosok pembaharu ini, teramu pendidikan terbaru yang bersinggungan dengan agama. Ia mendirikan banyak pesantren demi mencetak individu-individu saleh dengan pemahaman agama mumpuni. KH Ahmad Dahlan yakin, individu dengan pengetahuan agama tinggi juga mampu berjuang untuk bangsa dan negara.
Pendidikan di Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat kompleks dari masa penjajahan hingga kini. Untuk dapat bersaing dengan negara lain, dunia pendidikan di Tanah Air terus berbenah guna meningkatkan kualitas melalui penerapan kurikulum. Sedangkan dari sisi kuantitas, menurut data BPS, jumlah sekolah (mulai dari SD hingga SMA negeri dan swasta) mencapai 217.283 unit di tahun ajaran 2020/2021.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait