GAZA, iNewsBelu.id – Beberapa penduduk Gaza menyatakan kesiapan mereka untuk melawan Israel dengan tangan kosong. Sikap tersebut mereka tunjukkan tatkala pasukan zionis yang disebut-sebut sebagai militer paling kuat di Timur Tengah sedang bersiap untuk melancarkan serangan darat di wilayah kantong Palestina itu.
“Bahkan jika semua prajurit kami tewas, kami akan berjuang,” kata salah satu warga Gaza, Um Moatasem al-Alami, yang rumahnya terkena serangan udara Israel.
“Kami tidak tergoyahkan oleh semua yang mereka lakukan, meski kami terluka. Kami akan mengusir mereka dari tanah kami meski hanya dengan kuku-kuku (tangan) kami,” ujarnya.
Israel sebelumnya menyebut sedang mempersiapkan invasi darat di Gaza. Namun mereka didesak oleh Amerika Serikat dan negara-negara Arab untuk menunda operasi yang bakal melipatgandakan jumlah korban sipil di wilayah pesisir Palestina yang padat penduduk itu. Beberapa kalangan juga mengingatkan, tindakan semacam itu mungkin dapat memicu konflik yang lebih luas.
Ada juga kekhawatiran mengenai dampak invasi darat terhadap lebih dari 200 tawanan Israel yang dilaporkan masih ditahan di sana oleh para pejuang Hamas dan kelompok pejuang lainnya. Berbeda dengan al-Alami, Mohammad Abu Daqqa dan keluarganya tidak mau mengambil risiko terutama sejak Israel melakukan serangkaian serangan kecil di Jalur Gaza. Dia meninggalkan rumahnya di Kota Abassan al-Kabira, sebelah timur Khan Younis, di selatan wilayah kantong Palestina itu, karena makin intensifnya pemboman lewat udara oleh Israel.
Kini, mereka tinggal di sebuah tenda yang didirikan di dalam tempat perlindungan PBB. Seperti warga Palestina lainnya, dia tidak ingin terulangnya Nakba, istilah Arab untuk bencana yang mengacu pada perang Israel tahun 1948 yang menyebabkan perampasan massal wilayah Palestina oleh zionis.
Pada peristiwa Nakba, sekitar 700.000 warga Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka, dan ditolak untuk kembali ke kampung halaman mereka. Jumlah tersebut mencakup setengah dari populasi Arab di wilayah Palestina yang dikuasai Inggris kala itu. Banyak dari mereka yang berakhir menjadi pengungsi di Yordania, Lebanon, Suriah, serta di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. “Ini adalah tanah kami dan mereka memerangi kami di dalamnya, berapa lama kami akan berada dalam pertumpahan darah dan kesulitan ini?” ujar Abu Daqqa.
“Siapa pun (orang Israel) yang datang ke sini akan kami bunuh, siapa pun yang datang,” kata dia.
Bantuan kemanusiaan tak mencukupi
Kementerian Kesehatan Gaza yang dikuasai Hamas mengatakan pada Kamis (26/10/2023) menyatakan bahwa 7.326 warga Palestina telah tewas dalam serangan udara Israel sejak 7 Oktober lalu. Dari jumlah itu, sebanyak 3.038 di antaranya adalah anak-anak. Sementara Israel mengklaim, Hamas membunuh sekitar 1.400 orang termasuk anak-anak dalam serangannya pada 7 Oktober lalu.
Penduduk di Gaza Tengah mengatakan, mereka mendengar suara-suara seperti baku tembak serta serangan besar-besaran di sepanjang perbatasan, ketika pesawat Israel menjatuhkan suar dan bom. Selain ketakutan akan kehilangan tanah mereka, warga Gaza juga menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin parah akibat kekurangan makanan, air dan obat-obatan. Sejumlah bantuan memang diizinkan masuk dari perbatasan Mesir, namun pihak Palestina dan lembaga bantuan mengatakan jumlah tersebut tidak mencukupi.
Israel telah memperketat blokadenya terhadap Gaza, dan melarang masuknya makanan dan bahan bakar ke wilayah itu. Zionis juga memotong pasokan listrik. Di unit perawatan intensif Rumah Sakit Nasser di Gaza, para dokter tidak dapat menangani jumlah korban jiwa. “Kami harus membuka unit perawatan intensif baru, namun unit ini tidak memiliki perlengkapan yang lengkap, tidak memiliki sistem pernapasan buatan dan mesin untuk memantau pasien,” kata Dokter Hamouda Shaath.
“Karena perang dan kondisi saat ini kami tidak bisa menerima kasus perut atau jantung. Nasib kasus tersebut, pasien yang menderita penyakit kronis atau penyakit lainnya tidak diketahui,” ujarnya.
Badan pangan PBB mengatakan, kekurangan bahan bakar yang parah mungkin memaksa mereka untuk berhenti memasok bantuan pangan darurat kepada ribuan keluarga pengungsi di Gaza. “Saat ini hanya dua dari pabrik roti yang kami kontrak yang memiliki bahan bakar untuk memproduksi roti dan besok mungkin tidak ada lagi,” kata perwakilan Program Pangan Dunia (WFP), Samer Abdeljaber. “Ini akan menjadi penderitaan besar bagi ribuan keluarga yang tinggal di tempat penampungan yang selama ini mengandalkan pengiriman roti setiap hari,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Editor : Stefanus Dile Payong