MBAY, iNewsBelu.id - Pembangunan bandara Surabaya II di Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo, Nusa Tengara Timur, menuai polemik akibat penetapan lokasi (penlok) bandara menjadi bahan perdebatan publik.
Pokok persoalannya yang menjadi polemik dimana pemilihan penetapan lokasi dan dan pengelolalan dana swakelola yang dilakukan oleh Bappelitbangda Nagekeo.
Kepala Bappelitbangda Nagekeo, Kasimirus Dhoy, mengatakan peta penetapan lokasi pernah dilakukan pada tahun 2011 dimana penetapan lokasi tersebut masuk di tanah milik TNI dan warga sekitar.
Menurut Kasimirus karena penetapan lokasi 2011 dengan sedirinya gugur karena dilakukan pada tanah milik TNI sehingga tidak bisa dilakukan penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Rencana pembangunan runway atau landasan pacu bandara tahap awal sepanjang 1.200 meter, sekarang sudah benar-benar di tanah pemda Nagekeo yang sudah tersertifikasi tahun 2019 seluas 49,79 hektar, dan benar-benar di bekas bandara yang dibangun Jepang pada tahun 1944. Penlok 1 tahun 2011 gagal karena bukan di lahan Pemda sehingga tidak bisa dikeluarkan IMB, karena baik sisi darat maupun udara semuanya ada di tanah TNI,” ungkapnya.
Pemda Nagekeo memilih lahan ini yang sudah bersertifikasi 2019 sebagai solusi atas kegagalan pembangunan bandara Surabaya II berdasarkan penlok 2011 dan rencana pemindahan taxiway, apron, dan fasilitas sisi darat pada tahun 2016. Lahan bandara bekas Jepang ini tidak masuk dalam penlok 2011 maupun rencana pemindahan taxiway, apron, dan fasilitas sisi darat pada tahun 2016.
Kasimirus menambahkan pada PP 40 tahun 2012 terkait usia penlok yang hanya berlaku 5 tahun dari 2011 hingga 2016. Kemenhub punya otoritas untuk mengeluarkan, mencabut, penetapan lokasi (penlok). Pihaknya hanya menjalankan arahan dari Kemenhub. Pemda berharap Kemenhub bisa turun ke Mbay sehingga bisa melakukan verifikasi peninjauan lapangan namun terkendala karena pemeriksaan polisi oleh Tipikor Polres Nagekeo juga kepada tim ahli Kemenhub.
“Kami melakukan semuanya ini berdasarkan peraturan perundangan, kami tidak melanggar hukum untuk kegiatan penlok 2021. Justru pada penlok tahun 2011 berada di lahan milik TNI. Titik koordinatnya ada dan bebar-benar berada di lahan TNI. Namun kenapa begitu getol memaksa mengembalikan ke penlok 2011. Padahal kita sudah memutuskan untuk bersertifikasi lahannya dan bersurat ke Kemnhub dan disetujui, sekarang kita bikin benar-benar di tanah yang dalam penguasaan kita,” katanya.
Ia menambahkan nama Bandara Surabaya II yang diberikan Jepang tetap diabadikan. Pada masa pendudukan Jepang di Flores, 1942-1945, Mbay dipilih menjadi lokasi bandara baru di kawasan timur Indonesia selain Morotai di Maluku Utara. Dokumen sekutu menyebut bandara ini sesuai dengan nama sungai, yakni Sissa River Aerodrome. Dalam dokumen ini disebutkan bahwa ukuran bandara yang terbentang dari tenggara ke barat laut direncanakan seluas 7.500 ft x 350 ft atau 2.286 meter x 106,68 meter dan sudah terbangun seluas 4.000 ft x 350 ft atau 1.219,2 meter x 106,68 meter (Special Report Allied Geographical Section SWPA No.83: Soemba, Soembawa dan Flores, 6 September 1945, halaman 107). Bandara Surabaya II dinilai penting oleh Jepang sebagai bagian dari geostrategi.
Selain itu masih menurut Kasimirus, NTT adalah provinsi terluar dan terdepan dari NKRI. Sebuah bandara besar di Flores sangat dibutuhkan untuk pengamanan dan pengembangan ekonomi kawasan, sedangkan Mbay menempati posisi strategis karena letaknya persis di tengah Pulau Flores dan telah ditetapkan sebagai pusat Kawasan Strategis Nasional (KSN) Mbay dari sudut kepentingan ekonomi untuk NTT.
“Flores adalah bagian dari ring of fire, pulau rawan gempa dan letusan gunung berapi. Keberadaan BS II penting untuk evakuasi korban becana dan pengiriman bala bantuan. Di saat normal, bandara ini penting untuk pergerakan barang dan manusia. Bandara Surabaya II penting bagi upaya akselerasi pembangunan di Flores," ujarnya.
Soal Kewenangan untuk mengkaji kelayakan lokasi
Editor : Stefanus Dile Payong