MALANG, iNewsBelu.id - Riyang Ambarwati, perempuan berusia 20 tahun menjadi satu di antara 125 korban meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang. Almarhumah merupakan anak satu-satunya pasangan suami istri Aris Budi dan Kariyah warga yang tinggal di Jalan Sengguruh, Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Aris dan istrinya kehabisan kata-kata saat mengetahui anak semata wayangnya turut menjadi korban jiwa di tragedi tersebut. Kini mereka tak lagi bisa melihat sikap manja putrinya yang turut menjadi korban meninggal usai menyaksikan laga Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam.
Aris Budi tampak mencoba tegar saat diminta kembali menceritakan kisah anaknya Riya. Pria 42 tahun ini mencoba pasrah dan mengikhlaskan diri atas kepergian putri satu-satunya itu.
Dia menuturkan, anaknya sebenarnya sudah biasa menonton pertandingan Arema FC di Stadion Kanjuruhan. Mereka terkadang sengaja tidak mengunci pintu rumah malam hari saat ada pertandingan. Hal ini agar sang anak bisa mudah memasuki rumah saat pulang.
"Anaknya tidak pernah berbuat aneh-aneh dan memiliki karakter tanggung jawab. Makanya saya nggak pernah melarang dia untuk menyaksikan pertandingan Arema FC, sekalipun pertandingan tersebut berlangsung pada malam hari," kata Aris ditemui di rumahnya, Selasa (4/10/2022).
Dia menuturkan, anak perempuannya mengabarkan ada pertandingan malam itu yang akan berakhir pukul 22.00 WIB. Makanya dia meminta izin untuk pulang pukul 00.00 WIB karena ingin bercengkrama dengan teman-temannya.
"Izin pulang jam 12, ya pulang jam 12 (malam). Itu pun selalu sama. Pamitnya sama, cuma saat ini kondisinya yang tidak sama," ucap Aris. Aris dan istri tidak menyangka anaknya akan pergi meninggalkannya.
Terlebih, dia sempat mengantarkan anaknya di luar stadion sebelum pertandingan. Masih terkenang jelas bagaimana anaknya terlihat ceria dan semangat menonton pertandingan sepak bola.
Aris dan istri menerima informasi anak semata wayangnya menjadi korban jiwa saat pukul 00.00 WIB. Saat itu dia baru bangun tidur. Semula, Aris menduga anaknya hanya kecelakaan biasa akibat tersenggol.
"Kedengaran saya itu kesenggol jadi mungkin kecelakaan. Mau saya jemput tetapi tidak dibolehkan. Saya disuruh siap-siap di rumah katanya Pak Kades mau ambil (anak). Pas itu saya mikir kok Pak Jamhuri (kepala desa) yang manggil. Ponakan saya suruh cek juga tidak boleh," kata Aris. Sekitar 20 menit, pintu rumah Aris tiba-tiba terbuka.
Bukannya suara jejak kaki anak kandungnya yang terdengar tetapi justru suara keramaian. Dari sinilah, Aris dan istri baru mengetahui anaknya sudah meninggal. Dia yang baru saja terbangun dari tidurnya dan tak tahu kejadian di Stadion Kanjuruhan hanya mampu terpaku melihat anaknya meninggal.
Menurut Aris dan Kariyah, jenazah anaknya memang tidak sempat dibawa ke rumah sakit. Almarhum yang sudah meninggal di tempat langsung dibawa kepala desa ke rumahnya. Pada saat tiba di rumah, mereka bisa melihat bagaimana sang anak terbujur kaku dengan wajah dan leher terlihat membiru akibat gas air mata.
Akibat kejadian ini, Aris dan Kariyah harus kehilangan anak satu-satunya. Sebelumnya, mereka sudah kehilangan anak pertamanya pada 2013 lalu.
Namun kini dia harus kembali kehilangan anak terakhirnya yang begitu disayangi. Aris berharap peristiwa ini menjadi yang terakhir di manapun berada.
Dia juga meminta petugas kemanan untuk seharusnya melindungi penonton, bukan menjadi pemicu tragedi yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.
Dia meyakini penyebab kematian para korban karena gas air mata. Informasi ini sudah bukan rahasia lagi di masyarakat umum. "Jelas saya kecewa. Masalahnya itu bukan orang demo. Mereka melakukan kesalahan apa? Melakukan kerusakan apa? Tidak ada kan?" tuturnya. Saat ini, Aris hanya bisa ikhlas dan pasrah menerima kehilangan tersebut. Dia juga tak memiliki keinginan untuk melaporkan tersebut ke posko pengaduan. Aris mengaku tidak mengenal hukum dan khawatir memperuncing masalah.
Artikel ini telah tayang di jatim.inews.id dengan judul " Kisah Pilu Orang Tua Kehabisan Kata-Kata, Anak Satu-satunya Jadi Korban Tragedi Kanjuruhan "
Editor : Stefanus Dile Payong