JAKARTA, iNewsBelu.id - Alasan Presiden BJ Habibie di balik putusan jajak pendapat Timor Timur masih banyak dipertanyakan hingga saat ini. Jajak pendapat yang digelar pada 30 Agustus 1999 membuat Bumi Lorosae itu berpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berubah nama menjadi Timor Leste.
Timor Timur merupakan provinsi termuda kala itu di Indonesia. Daerah beribu kota di Dili itu berdiri pada 17 Juli 1976. Sebelum menjadi bagian NKRI, Timor Timur merupakan daerah jajahan Portugal dari tahun 1702 hingga 1975 yang bernama Timor Portugis. Pada 1974, Portugal melakukan proses dekolonisasi bertahap, termasuk di Timor Portugis. Situasi ini memicu konflik sipil di beberapa wilayah Timor Portugis.
Konflik sipil yang terjadi di Timor Portugis memunculkan keinginan sebagian warganya untuk bergabung ke negara terdekat Indonesia. Mereka kemudian melakukan Deklarasi Balibo pada 30 November 1975.
Deklarasi itu disampaikan oleh Francisco Xavier Lopes da Cruz, mewakili tiga partai di Timor Portugis, yakni Partai Klibur Oan Timor Asu'wain (KOTA), Uni Demokrasi Timor (UDT), dan Associacao Popular Democratica de Timor Pro Referendo (APODETI). Deklarasi Balibo menjadi legitimasi bagi Indonesia mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Timor Portugis dan menggabungkannya ke dalam wilayah NKRI. Timor Portugis resmi menjadi provinsi ke-27 pada 17 Juli 1976. Namanya diubah menjadi Timor Timur.
Ada empat tokoh yang pernah menjadi Gubernur Timor Timur. Mereka adalah Arnaldo dos Reis Araujo (3 Agustus 1976-19 September 1978), Guilherme Maria Goncalves (19 September 1978-18 September 1982), Mario Viegas Carascalao (18 September 1982-18 September 1987, 18 September 1987-18 September 1992), dan Jose Abilio Osorio Soares (18 September 1997-19 Oktober 1999).
Dalam buku berjudul Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, ada dua hal mengapa Timor Portugis dibiarkan masuk ke dalam wilayah NKRI. Pertama, the Fall of Vietnam dan the Flower Revolution di Portugal yang dikuasai kelompok kiri.
Waktu itu, Amerika Serikat belum lama menarik pasukan dari Vietnam Selatan sebagai imbas berakhirnya Perang Vietnam. Vietnam Selatan dan Vietnam Utara bergabung dan mengambil haluan komunisme. Di saat hampir bersamaan terjadi Revolusi Bunga (the Flower Revolution) di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri, sehingga terjadi pemberontakan di negara koloni.
Alasan kedua mengapa Indonesia dibiarkan menguasai Timor Portugis adalah adanya kekhawatiran wilayah itu dijadikan pangkalan kapal perang dan kapal udara Blok Komunis di tengah NKRI yang antikomunis dan di dekat Australia.
"Terjadinya kevakuman pemerintah Portugal di Timor Portugis dapat mengakibatkan destabilisasi daerah jajahan Portugal, sehingga memberi peluang kepada gerakan dan kekuatan kiri untuk merealisasi terjadinya pangkalan komunis dan komunisme," tulis BJ Habibie dalam buku Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan sebagaimana dikutip, Minggu (11/9/2022).
Namun integrasi Timor Timur ke Indonesia ternyata tak meredakan konflik antara kelompok prokemerdekaan dan prointegrasi yang didukung pemerintah Indonesia.
Pada 28 Oktober 1991, terjadi konfrontasi antara aktivis prointegrasi dan prokemerdekaan dalam sebuah pertemuan di Gereja Motael Dili. Dalam peristiwa ini aktivis prointegrasi, Afonso Henriques tewas dalam perkelahian, sehingga memicu penembakan terhadap aktivis prokemerdekaan Sebastiao Gomes oleh tentara Indonesia. Setelah peristiwa itu terjadi unjuk rasa besar-besaran dari kelompok prokemerdekaan.
Pada 12 November 1991, sekitar 4.000 orang berkumpul mengiringi pemakaman aktivis prokemerdekaan di Pemakaman Santa Cruz Dili. Sebanyak 200 tentara dikerahkan untuk menghadapi para pengunjuk rasa. Dalam situasi chaos, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke arah demonstran dan menyebabkan sekitar 200-an orang tewas. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai tragedi Santa Cruz.
Peristiwa Santa Cruz yang direkam oleh jurnalis asing kemudian disiarkan di televisi-televisi dunia. Amerika Serikat yang mendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia pun mengutuk peristiwa kekerasan itu. Sejak itu, isu Timor Timur menjadi semacam senjata untuk mempermalukan Indonesia di dunia internasional.
Jajak Pendapat BJ Habibie resmi diangkat menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri akibat tekanan politik di dalam negeri. Sebagai presiden di awal era Reformasi, BJ Habibie memberikan perhatian penuh pada kepentingan nasional.
Menurutnya, ada tiga isu yang dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi dan menghambat pelaksanaan Reformasi. Ketiganya adalah status Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan kelompok sparatis di Irian Jaya (Papua).
Menurutnya, dari ketiga masalah itu, status Timor Timur yang harus segera diselesaikan. Sebab, provinsi ke-27 RI itu masih dipermasalahkan oleh Dewan Keamanan PBB. Sementara GAM dan kelompok separatis di Irian Jaya tidak mendapatkan dukungan PBB.
"Saya berpendapat dan berkeyakinan, sebelum presiden dan wakil presiden dipilih oleh para anggota Sidang Umum MPR hasil pemilu yang akan datang, masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan. Penyelesaian Timor Timur harus tuntas dan dapat diterima oleh masyarakat Timor Timur, Indonesia, internasional," kata BJ Habibie dalam buku berjudul 'Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan'.
Untuk menentukan langkah penyelesaian Timor Timur, BJ Habibie mempelajari sejarah Timor Timur dan mendengar masukan dari para tokohnya. Ia lalu mengundang Uskup Dili, Carlos Filipe Ximenes Belo dan Uskup Baucau, Basilio do Nascimento untuk bertemu di Kantor Presiden, Bina Graha. Namun Uskup Nascimento berhalangan hadir.
Dalam pertemuan yang berlangsung 1,5 jam, Uskup Belo menyampaikan catatan mengenai Timor Timur. Salah satu yang diminta adalah jaminan hak kebebasan penduduk asli untuk bepergian ke mana saja dan menetap di mana saja tanpa membatasi ruang gerak mereka. Uskup Belo mengungkapkan adanya pemaksaan menetap di permukiman yang dibangun di sepanjang jalan umum demi mempermudah pengontrolan oleh aparat keamanan.
"Mengapa rakyat tidak dapat bergerak di rumahnya sendiri? Alasan keamanan tidak cukup untuk melarang. Bahkan rakyat Indonesia dapat bebas bergerak di seluruh wilyah NKRI, atas tanggung jawab sendiri," kata Habibie.
Dari pertemuan dengan Uskup Belo, Presiden BJ Habibie mengambil kesimpulan bahwa masalah Timor Timur harus segera diselesaikan dan tidak boleh membebani proses reformasi. Pimpinan nasional harus memberi perhatian penuh pada kepentingan reformasi secara nasional, yang berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Kekuatan luar negeri tidak boleh diberi kesempatan untuk memanfaatkan masalah Timor Timur sebagai alasan untuk turut campur dalam proses reformasi.
Dari mendengarkan masukan dari para tokoh, BJ Habibie juga mengikuti kronologis perkembangan Timor Timur di dunia internasional. Meski telah ditetapkan UU Nomor 7 Tahun 1976 tertanggal 17 Juli 1976, tapi status integrasi Timor Timur dengan Indonesia terus dipersoalan masyarakat dunia. Pada 19 November 1976, Sidang Umum PBB menyatakan menolak aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur. Upaya Indonesia meningkatkan status hukum melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1978, juga tak mengubah pandangan internasional.
Mereka berpandangan bahwa keputusan Presiden Soeharto mengirimkan pasukan ke Timor Timur adalah menyalahi aturan internasional. Habibie juga mengakui bahwa Timor Timur berbeda dengan provinsi lain yang sudah menjadi bagian NKRI sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 karena ada kesamaan nasib dijajah oleh kolonial Belanda. Sementara integrasi Timor Timur karena situasi yang terjadi saat itu.
Dari beragam pertimbangan itu, maka Presiden BJ Habibie mengusulkan adanya jajak pendapat untuk masyarakat Timor Timur. "Ada dua opsi yang diajukan apakah rakyat Timor Timur menerima Otonomi Khusus yang Luas dan tetap bersatu dengan NKRI atau berpisah menjadi rakyat negara tetangga yang bersahabat," kata BJ Habibie.
Usul itu kemudian disetujui dalam perjanjian tripartit antara Pemerintah Indonesia, Portugal, dan PBB di New York, Amerika Serikat pada 5 Mei 1999. Penjanjian direalisasikan dnegan pembentukan Unamet (United Nations Mission in East Timor yang dibentuk pada 11 Juni 1999. Unamet bertanggung jawab melaksanakan jajak pendapat di Timor Timur secara rahasia, langsung, dan bebas.
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Tepat pada 30 Agustus 1999 digelar jajak pendapat. Hasilnya 78,5% rakyat Timor Timur menolak otonomi luas dan 21,5% menerima. Dengan hasil itu, maka mayoritas masyarakat Timor Timur menghendaki berpisah dari Indonesia.
"Betapa pun pahit dan pedihnya kita menyaksikan kekalahan rakyat Timor Timur yang prointegrasi dalam jajak pendapat tersebut, namun kita sebagai bangsa yang besar yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang dalam era baru sekarang ini berketetapan hati untuk memajukan demokrasi dan pelaksanaan hak asasi manusia, harus menerima dan menghormati hasil jajak pendapat itu," kata BJ Habibie.
"Selanjutnya, kita semua mengharapkan bahwa melalui jalan ini permasalahan Timor Timur yang sudah sekian lama berlarut-larut dan yang menjadi beban di atas pundak bangsa Indonesia akhirnya dapat diatasi. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa bukanlah Timor Timur atau rakyat Timor Timur yang menjadi beban kita, tetapi permasalahan Timor Timur yang di forum-forum internasional yang tak kunjung terselesaikan," katanya.
Majelis Permusyawaratan Rakyat kemudian menerbitkan TAP MPR Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Jajak Pendapat di Timor Timur yang mengakui pemisahan Timor Timur dari NKRI. Setelah masa transisi yang diorganisasi oleh PBB, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara dan secara resmi merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002. Mereka memutuskan mengubah nama menjadi Timor Leste.
Editor : Stefanus Dile Payong