Bekasi,iNews.id - Mobilisasi kekuatan militer Indonesia dikerahkan pada Operasi Seroja di Timor - Timur dimulai pada 7 Desember 1975. ABRI atau kini menjadi TNI dan Polri terutama kekuatan Brimob dikerahkan ke Timor-Timur atau kini bernama Timor Leste setelah lepas dari NKRI.
Operasi Seroja bisa disebut operasi militer cukup berat yang diemban pasukan. Sehingga tak heran jika ada pasukan yang berangkat sehat bugar kemudian beberapa kemudian keluarga mendapat kabar sudah gugur. Ataupun bila tak gugur, anggota tubuhnya ada yang cacat. Seperti kaki atau tangan yang harus diamputasi karena terkena ledakan.
Nah, para veteran Operasi Seroja ini kemudian mendapat pelayanan kesehatan dan bertempat tinggal di Wisma Seroja, Komplek Perumahan Perang Timor-Timur di Bekasi.
La Samba, veteran Operasi Seroja masih gigih mencari nafkah, meski kondisi tubuhnya tak lagi sempurna. Kaki kanan pria berumur 60-an tersebut cacat akibat terkena peluru musuh saat bertugas. Kakinya kini hanya bisa diluruskan dan tak bisa lagi menekuk.
Saya kena tembak di bagian lutut kanan saat di Kabupaten Er Merah. Baru 4 bulan disana, langsung kena musibah," katanya saat diwawancarai MPI di Komplek Seroja, Harapan Jaya, Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat, belum lama ini.
La Samba menceritakan bagaimana kerasnya pertempuran yang dihadapi saat invasi Indonesia atas Timor Timur saat itu. Oktober 1977 ia berangkat ke Timor Timur (saat ini Timur Leste), dan terpilih menjadi anggota Operasi Seroja. Dalam waktu singkat, salah satu kelompoknya menjadi korban dalam pertemuan.
"Kita di drop di wilayah NTT di daerah Atambua. Kita diberangkatkan malam Jumat, dan Jumatnya sudah ada korban di kelompok saya," ujarnya.
Sebagai prajurit yang baru bergabung dalam Operasi Seroja, La Samba sudah harus bertarung di medan pertempuran yang cukup rumit dan berbahaya. Terlebih posisi musuh saat itu diuntungkan karena sudah sangat menguasai wilayah.
"Seluruh senior mengatakan bahwa pertempuran Timor Timur itu memang sangat rumit, terutama medannya. Kemudian mereka-mereka itu sudah sangat menguasai wilayahnya. Nah disitu kita sebagai prajurit tidak ada alasan. Tujuan kita membela bangsa kita di sana. Jadi tidak ada kata lainnya, kita harus tetap laksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai prajurit" tegasnya.
Saat dirinya tertembak, La Samba mulai menyadari beratnya beban yang dipikul seorang prajurit untuk membela negaranya.
"Di situ saya merasa, bahwa memang (saat perang) memilih untuk mati saja tidak mudah. Kalau umpama saya itu sudah waktunya untuk meninggal, jasad saya saja tidak akan ketemu, karena saya sudah disergap," akunya.
La Samba memilih pensiun di usia 48 tahun, dengan pangkat terakhir Sersan Dua (Serda). Ia mengaku memperoleh tunjangan secara rutin dari Pemerintah yang besarannya cukup . Ia juga pernah mendapat santunan yang diperuntukkan bagi para veteran penyandang cacat.
"Setelah PP Nomor 56 Tahun 2007, penyandang cacat itu pensiunannya lumayan. Jadi diadakan re-evaluasi, sehingga yang golongan 2C seperti saya, pensiunannya lumayan. Sampai pernah waktu itu gaji saya Rp 5,2juta. Sekarang ya sekitar Rp 5jt. Kemudian waktu itu juga ada santunan cacat, tapi itu diberikan sekaligus," paparnya.
Kondisi La Samba yang tak lagi bisa berjalan, tak serta merta diabaikan Pemerintah begitu saja. Ia bersama veteran penyandang cacat lainnya, diberikan pelatihan untuk mengasah keterampilan yang bisa dipakai untuk menyambung hidup ke depannya.
"Setelah kita cacat, kita diberi operasional pelatihan oleh kesatuan. Jadi masing-masing diberi keahlian. Saya keahlian kebetulan konveksi menjahit, tapi sekarang tidak lagi," kata dia. La Samba juga menjalani berbagai profesi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Seluruh pekerjaan tersebut ia lakoni ditengah keterbatasan fisiknya.
"Tidak pernah menganggur, ada saja kegiatan, dagang, cuma ada juga yang disalurkan untuk di Telkom, kantor POS. Ya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sekarang saya ada online. Kalau lagi mood, ya saya narik Go-Car," jelasnya.
Ia sendiri tak menampik nasib para veteran yang kebanyakan dalam kondisi memprihatinkan, khususnya para veteran Operasi Seroja.
Ia merasa pemerintah kurang memperhatikan nasib para pejuang yang saat ini jelas-jelas membutuhkan bantuan. "Nasib veteran saat ini hampir jadi diskriminasi, artinya belum ada keberanian dari pemerintah untuk menyatukan pengertian ke trend ex Operasi Seroja. Karena ex Operasi Seroja itu tidak langsung dia otomatis menjadi veteran. Kami harap Pemerintah dapat meninjau. Kami dengar sudah ada revisi undang-undang veteran. Tapi sampai saat ini kita belum tahu wujudnya seperti apa. Untuk itu kita sangat mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk kami-kami yang masih ada ini, untuk bisa menikmati apa yang disebut tunjangan veteran itu," imbuhnya.
La Samba berharap nasib para veteran dapat lebih baik lagi ke depannya, terutama penyandang cacat seperti dirinya. Karena sudah sepatutnya jasa para pejuang dihargai, atas kerelaannya mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan negeri ini.
"Harapannya agar diperhatikanlah nasib kami-kami ex Operasi Seroja ini, terutama yang cacat. Purnawirawan saja yang bukan cacat, sudah begitu menyedihkan nasibnya. Apalagi kami-kami yang cacat yang sudah kehilangan sebagian kemampuan kami. Ada yang putus tangannya, kakinya, ada yang buta. Nah untuk itu minimal satu, supaya semua ex operasi Seroja masuk veteran. Itu harapan kita," pungkasnya.
Editor : Stefanus Dile Payong