NEW YORK, iNews.id - Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung Jumat (24/9/2021) berjalan panas. Wakil India dan Pakistan terlibat cekcok terkait materi pidato di sidang yang diikuti 193 negara tersebut.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menuduh mitranya dari India Narendra Modi meneror umat Islam. Dengan tegas, Khan juga menyebut Modi berencana membersihkan India dari umat Islam.
"Bentuk Islamofobia terburuk paling luas sekarang menguasai India," kata Khan, dalam pidato yang disampaikan melalui rekaman video, dikutip dari AFP.
"Ideologi Hindutva yang dipenuhi kebencian, disebarkan oleh rezim RSS-BJP fasis, telah menimbulkan ketakutan dan kekerasan terhadap 200 juta umat Islam di India," katanya, melanjutkan.
BJP atau Bharatiya Janata Party merupakan partai penguasa di India yang dipimpin Modi. Sementara RSS atau Rashtriya Swayamsevak Sangh merupakan gerakan revivalis Hindu yang sudah berdiri 100 tahun.
Saat Khan menyampaikan pidato itu, Modi melakukan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih.
Pidato Khan mendapat komentar pedas dari diplomat India di PBB, Sneha Dubey. Dia menuduh Pakistan melindungi pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden sebelum terbunuh dalam serangan pasukan elite Navy SEAL AS di Kota Abbottabad pada 2011. Dia juga menyebut Pakistan memelihara teroris di halaman belakang rumah dengan tujuan untuk membahayakan negara tetangga.
Dubey lalu menyoroti kekerasan terhadap minoritas di Pakistan serta genosida agama dan budaya pada 1971 ketika Bangladesh meraih kemerdekaannya.
"Tidak seperti Pakistan, India merupakan negara demokrasi pluralistik dengan populasi minoritas yang telah memegang jabatan tertinggi di negara ini," kata Dubey.
Komentar Dubey ditanggapi lagi oleh diplomat Pakistan, Saima Saleem. Dia membalas Dubey dengan mengangkat penindasan terhadap penduduk Kashmir yang mayoritas berpenduduk muslim.
Di bawah pemerintahan Modi, India telah mencabut status otonomi penuh Kashmir, satu-satunya wilayah berpenduduk mayoritas muslim di India. Modi menerapkan undang-undang kewarganegaraan yang oleh para kritikus disebut diskriminatif.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait