Kembali ke dalam tulisannya, Dahlan mengungkap bahwa kepemilikan saham Nyata berbeda dengan Jawa Pos. Dia menilai konflik ini sebagai kesalahpahaman pimpinan Jawa Pos saat ini yang tidak mengetahui sejarah perusahaan.
“Saya tegaskan tidak semua media yang saya pimpin adalah milik Jawa Pos,” ujarnya.
Meski tidak secara langsung menjelaskan, Dahlan menyinggung perubahan drastis di internal Jawa Pos sejak dia melepas jabatan akibat aturan BUMN saat menjabat sebagai Dirut PLN tahun 2009.
“Ternyata saya tidak pernah bisa kembali ke Jawa Pos. Pemegang saham mayoritas sudah sangat berkuasa. Begitulah perusahaan. Apalagi sudah punya uang banyak,” katanya dalam tulis tersebut.
Dahlan dan Nany dijerat dengan Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 374 KUHP jo Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 KUHP. Pasal-pasal tersebut mencakup pemalsuan surat, penggelapan dalam jabatan serta potensi pencucian uang.
Dalam catatannya, Dahlan mengaku tidak pernah menyangka dia akan berurusan dengan polisi di usia 74 tahun. Meski telah mengundurkan diri sejak 2009, dia masih kerap dikenali publik sebagai bos Jawa Pos hingga hari ini.
“Saya kira saya itu akan seumur hidup di Jawa Pos. Bahkan saya bayangkan mungkin makam saya pun kelak akan di halaman gedung Jawa Pos,” tulisnya.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait