JAKARTA, iNews.id - Ritual sakral Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah ada sejak masa lalu. Pulau Sumba terkenal di kalangan bangsa Eropa. Para pelaut Eropa menyebut pulau ini dengan dua nama, yaitu Chendan Island (Pulau Cendana) dan Sandalwood Island atau pulau penghasil kuda sandel.
Sumba merupakan bagian dari gugusan pulau yang dahulu disebut sebagai Sunda Kecil, terdiri dari Bali, Lombok, Sumba, Flores, dan Timor. Gugusan pulau ini kemudian menjadi sebutan 'Nusa Tenggara' oleh Prof Muhammad Yamin mengacu pada posisinya yang berada di sudut tenggara gugusan kepulauan Indonesia.
Sebelum masuknya agama ke Sumba, di antaranya dibawa pendatang Eropa, warga pribumi menganut Marapu, keyakinan lokal yang memuja para leluhur. Dari segi etimologis, Marapu merupakan gabungan dari dua kata yang bila dipisah menimbulkan makna berbeda.
Menurut L Ovlee, dikutip dari jurnal 'Ritual Marapu di Masyaraka Sumba Timur' terbitan Universitas Negeri Surabaya, Marapu berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu. Ma bermakna yang sedangkan rappu bermakna dihormati, disembah dan didewakan. Maka Marapu merujuk pada sesuatu yang dihormati, disembah, dan didewakan.
Masyarakat Sumba menyebut nenek moyang mereka dengan Marapu. Dalam kosmologi masyarakat Sumba, alam semesta terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan atas (langit), tengah (bumi), dan bawah (dalam bumi). Dewa para Marapu dipercaya tinggal di langit yang terdiri atas delapan lapis berbentuk kerucut.
Bagian atas area paling sempit, sedangkan paling bawah lebih luas. Lapis pertama disebut Awangu Walu Ndani. Marapu tinggal bersama di lapis pertama hingga keenam. Pada lapis keenam, Marapu Tara Hau-Lulu Weu menempa emas untuk dijadikan bulan dan matahari sehingga tempat tersebut menjadi terang.
Para Marapu kemudian turun ke lapis ketujuh lalu kedelapan atau terakhir. Di lapis paling bawah mereka melihat dataran sangat luas namun masih berupa air, sehingga tidak mungkin dijadikan tempat tinggal. Para Marapu diizinkan tinggal di dataran baru itu dengan terlebih dulu menaburkan batu dan tanah. Batu dan tanah yang ditaburkan menjelma jadi pulau-pulau besar dan kecil sehingga bisa ditinggali. Lalu dengan menggunakan Panongu Bahi dan Panongu Atu (tangga besi dan teras batu), mereka turun ke tanah yang disebut Malaka Tana Bara. Para Marapu inilah yang dianggap sebagai nenek moyang masyarakat Sumba.
Ketika para Marapu belum turun ke bumi, hubungan antara manusia dan dewa terjalin secara langsung. Namun saat Marapu sudah tinggal di bumi, relasi langsung terputus. Jalinan komunikasi hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para Marapu yang dipercaya tinggal bersama dewa. Melalui Marapu, manusia dapat memohonkan pertolongan untuk disampaikan kepada dewa, dan melalui Marapu pula dewa mengirim pesan atau jawaban atas permohonan tersebut.
Dalam pengertian ini, kepercayaan Marapu mengultuskan arwah nenek moyang sebagai perantara untuk memuja dewa. Pemujaan terhadap Marapu dianggap dapat membuahkan keselamatan dan sebaliknya, jika Marapu tidak disembah maka akan muncul malapetaka.
Masyarakat menggunakan beberapa benda yang dikeramatkan saat melakukan ritual kepada para Marapu, biasanya terbuat dari emas dan di dalamnya diyakini terdapat roh leluhur. Karena itu, benda ini dianggap sebagai Marapu itu sendiri dan menjadi objek pemujaan. Benda lainnya yang ada dalam ritual adalah perhiasan-perhiasan untuk dipamerkan. Selain benda upacara, ada pula alat upacara, antara lain wadah terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, periuk tanah, dan lainnya.
Sesaji juga dipersembahkan saat pelaksanaan ritual, biasanya berupa sirih pinang, anak ayam, kambing, dan hewan-hewan besar berkaki empat, seperti sapi, kuda, dan kerbau. Sesaji ini menjadi sarana permohonan kepada para Marapu.
Salah satu upacara dalam konsep Marapu adalah kematian. Terdapat beberapa proses dalam upacara kematian, dimulai dari membangunkan, menguburkan, hingga mengantar ke negeri para leluhur, berikut penjelasannya:
1. Membangunkan Menurut kepercayaan, mereka yang meninggal akan kembali ke negeri leluhur. Oleh karena itu jenazah harus disimpan dalam kondisi menunduk, menyerupai keadaan saat dalam kandungan. Membangunkan berarti membuat ruhnya kembali di dalam tubuh, sehingga dapat diberi sirih pinang dan makanan. Disiapkan pula hamba pengiring (pahapanggangu), seekor kuda yang dikorbankan yang dagingnya hanya diberikan kepada anjing dan babi, setelah itu penjagaan mayat seraya membunyikan gong siang dan malam sebagai tanda berduka.
2. Membuat Kuburan Sebelum upacara pemakaman, keluarga harus menyiapkan kubur terlebih dulu. Kubur asli orang Sumba terdiri dari lubang bulat. Setelah diturunkan, jenazah ditutup dengan batu bulat kecil disusul dengan batu lebih besar. Kemudian dilindungi dengan batu besar yang ditopang empat batang batu sebagai kaki. Kuburan berkaki ini digunakan untuk kalangan bangsawan karena membutuhkan biaya mahal. Sementara rakyat biasa, kuburnya cukup ditutup dengan batu besar.
3. Mengundang Memakamkan jenazah bisa dilakukan cepat atau lama, misalnya 2 sampai 6 bulan, bahkan tahunan hingga puluhan tahun. Sebelum dikubur, mayat disemayamkan di salah satu kamar rumah atau dikuburkan sementara tetapi tanpa upacara. Saat waktu penguburan sudah dekat, keluarga akan memberikan undangan kepada pihak-pihak terkait sesuai hasil musyawarah keluarga. Proses ini dilakukan dengan memperhatikan tata cara mengundang sesuai adat.
4. Menguburkan Setelah para undangan datang, mereka disambut acara adat. Para undangan akan menyerahkan barang-barang yang dibawa sesuai ketentuan. Misalnya paman dari jenazah memberikan dua lembar kain kombu atau sarung Sumba. Selain mengharuskan adanya hewan yang dikorbankan, penguburan ini juga memerlukan emas untuk dikuburkan bersama jenazah. Semakin banyak benda yang dibawa, kedudukan jenazah semakin terhormat di alam sana.
5. Penutupan Beberapa hari usai pemakaman, seluruh keluarga dan tetangga diundang lagi untuk mengikuti penutupan masa berkabung. Keluarga menyampaikan terima kasih ditandai dengan membagikan sisa barang bawaan. Bunyi gong juga dihentikan. Terakhir dilakukan upacara mengantar arwah ke negeri tujuan. Keluarga akan melakukan sembahyang dengan media berupa hati ayam, babi, atau kerbau.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait