Dia menuturkan, anak perempuannya mengabarkan ada pertandingan malam itu yang akan berakhir pukul 22.00 WIB. Makanya dia meminta izin untuk pulang pukul 00.00 WIB karena ingin bercengkrama dengan teman-temannya.
"Izin pulang jam 12, ya pulang jam 12 (malam). Itu pun selalu sama. Pamitnya sama, cuma saat ini kondisinya yang tidak sama," ucap Aris. Aris dan istri tidak menyangka anaknya akan pergi meninggalkannya.
Terlebih, dia sempat mengantarkan anaknya di luar stadion sebelum pertandingan. Masih terkenang jelas bagaimana anaknya terlihat ceria dan semangat menonton pertandingan sepak bola.
Aris dan istri menerima informasi anak semata wayangnya menjadi korban jiwa saat pukul 00.00 WIB. Saat itu dia baru bangun tidur. Semula, Aris menduga anaknya hanya kecelakaan biasa akibat tersenggol.
"Kedengaran saya itu kesenggol jadi mungkin kecelakaan. Mau saya jemput tetapi tidak dibolehkan. Saya disuruh siap-siap di rumah katanya Pak Kades mau ambil (anak). Pas itu saya mikir kok Pak Jamhuri (kepala desa) yang manggil. Ponakan saya suruh cek juga tidak boleh," kata Aris. Sekitar 20 menit, pintu rumah Aris tiba-tiba terbuka.
Bukannya suara jejak kaki anak kandungnya yang terdengar tetapi justru suara keramaian. Dari sinilah, Aris dan istri baru mengetahui anaknya sudah meninggal. Dia yang baru saja terbangun dari tidurnya dan tak tahu kejadian di Stadion Kanjuruhan hanya mampu terpaku melihat anaknya meninggal.
Menurut Aris dan Kariyah, jenazah anaknya memang tidak sempat dibawa ke rumah sakit. Almarhum yang sudah meninggal di tempat langsung dibawa kepala desa ke rumahnya. Pada saat tiba di rumah, mereka bisa melihat bagaimana sang anak terbujur kaku dengan wajah dan leher terlihat membiru akibat gas air mata.
Akibat kejadian ini, Aris dan Kariyah harus kehilangan anak satu-satunya. Sebelumnya, mereka sudah kehilangan anak pertamanya pada 2013 lalu.
Namun kini dia harus kembali kehilangan anak terakhirnya yang begitu disayangi. Aris berharap peristiwa ini menjadi yang terakhir di manapun berada.
Dia juga meminta petugas kemanan untuk seharusnya melindungi penonton, bukan menjadi pemicu tragedi yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.
Dia meyakini penyebab kematian para korban karena gas air mata. Informasi ini sudah bukan rahasia lagi di masyarakat umum. "Jelas saya kecewa. Masalahnya itu bukan orang demo. Mereka melakukan kesalahan apa? Melakukan kerusakan apa? Tidak ada kan?" tuturnya. Saat ini, Aris hanya bisa ikhlas dan pasrah menerima kehilangan tersebut. Dia juga tak memiliki keinginan untuk melaporkan tersebut ke posko pengaduan. Aris mengaku tidak mengenal hukum dan khawatir memperuncing masalah.
Artikel ini telah tayang di jatim.inews.id dengan judul " Kisah Pilu Orang Tua Kehabisan Kata-Kata, Anak Satu-satunya Jadi Korban Tragedi Kanjuruhan "
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait