KOLOMBO - Sri Lanka mengeluarkan seruan mendesak pada Senin (1/8/2022) untuk mengatasi penyebaran gizi buruk yang cepat di antara anak-anak. Krisis ekonomi membuat 9 dari 10 orang bergantung pada bantuan negara.
Kementerian Urusan Perempuan dan Anak mengatakan, mereka mencari sumbangan pribadi untuk memberi makan mungkin beberapa ratus ribu anak-anak yang kehilangan asupan gizi karena kekurangan makanan.
"Ketika pandemi COVID-19 mencapai puncaknya, masalahnya buruk. Tetapi sekarang, dengan krisis ekonomi, situasinya jauh lebih buruk," kata Sekretaris Neil Bandara Hapuhinne kepada wartawan di Kolombo, seperti dikutip dari AFP. Hapuhinne mengatakan, mereka telah menghitung 127.000 anak kurang gizi di antara 570.000 anak perempuan dan laki-laki di bawah usia lima tahun pada pertengahan 2021. Sejak itu, ia memperkirakan jumlahnya telah meningkat beberapa kali lipat dengan dampak penuh dari inflasi yang merajalela dan kekurangan makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
“Jumlah orang yang menerima bantuan langsung negara hampir dua kali lipat pada tahun lalu, dengan lebih dari 90 persen populasi sekarang bergantung pada pemerintah untuk bantuan keuangan. Ini termasuk sekitar 1,6 juta pegawai pemerintah,” jelas Hapuhinne.
Inflasi Sri Lanka secara resmi diukur pada 60,8 persen pada Juli, tetapi ekonom swasta mengatakan itu lebih dari 100 persen dan kedua setelah Zimbabwe. Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) juga telah mengeluarkan permohonan pendanaan yang mengatakan bahwa anak-anak di Sri Lanka secara tidak proporsional terkena dampak krisis ekonomi yang parah.
Negara itu kehabisan devisa untuk membiayai bahkan impor penting akhir tahun lalu dan Kolombo gagal membayar utang luar negerinya senilai USD51 miliar pada pertengahan April. Di bawah Presiden baru Ranil Wickremesinghe, pemerintah sekarang sedang dalam pembicaraan bailout dengan Dana Moneter Internasional.
Sekitar 22 juta orang di negara itu mengalami pemadaman listrik yang panjang setiap hari. Antrian panjang untuk bahan bakar dan kekurangan makanan pokok dan obat-obatan jadi pemandangan rutin di negara yang pernah memiliki indikator sosial terbaik di Asia Selatan tersebut.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait