JAKARTA - Kisah Jenderal Hoegeng yang sempat diburu oleh sniper atau penembak jitu hingga pernah pura-pura menjadi seekor monyet akan diulas dalam artikel ini. Diketahui, Hoegeng pernah bertugas di Medan.
Hoegeng saat diberi tahu akan menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditserse dan Kriminal) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara pun menyambutnya dengan antusias. Pasalnya, bertugas di Medan saat itu bagi seorang polisi muda yang baru merintis karier merupakan hal yang tak mudah. Sebab, Medan waktu itu dikenal bukan sebagai wilayah kerja yang enteng, terutama bagi polisi yang jujur dan tak mau kompromi, tetapi banyak yang menggiurkan sehingga melanggar hukum. Berbagai kasus kejahatan di Medan marak saat itu.
Di antaranya, smokel (penyelundupan) berbagai barang masuk ke Indonesia maupun keluar negeri melalui pelabuhan dan perairan, perjudian, perampokan, serta suap menyuap dari kalangan pengusaha kepada aparat negara. Diduga, banyak oknum-oknum aparat penegak hukum seperti polisi atau tentara menjadi backing kasus perjudian dan penyelundupan kala itu.
Bahkan, sekelompok oknum militer di Sumatera Utara yang kecewa dengan pusat pernah melakukan penyelundupan senjata. Mereka melakukan penyelundupan senjata untuk melawan pemerintah pusat dengan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang tujuannya untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ujian pertama sebagai polisi dihadapi saat Hoegeng bersama keluarganya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan. Saat itu, seorang pengusaha keturunan China bertubuh gemuk menyambut kedatangan Hoegeng bersama keluarga.
Seorang pengusaha itu mengaku sebagai ketua "Panitia Selamat Datang", panitia yang khusus dibentuk oleh sejumlah pengusaha Medan untuk menyambut kedatangan Hoegeng. Pengusaha itu memberitahukan bahwa mereka sudah menyediakan rumah dan kendaraan untuk Hoegeng dan keluarganya selama bertugas di Medan. Bahkan, para panitia penyambutan sudah menyiapkan sebuah hotel untuk Hoegeng dan keluarga. Namun, Hoegeng menolak secara halus dengan menyatakan supaya barang tersebut disimpan saja dulu. Demikian juga tawaran mengantarnya ke sebuah hotel. Kata Hoegeng kala itu, jika memang diperlukan, dia akan segera menghubungi. Kemudian, pengusaha itu menitipkan kartu nama.
Hoegeng juga menceritakan tentang hal yang sama kepada Soedharto Martopoespito atau Dharto, yang pernah menjadi Sekretaris Hoegeng saat menjabat Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet pada periode Maret 1966 hingga Juli 1966. Hoegeng sebagai polisi tetap bersikap profesional dan menjaga integritas. Saat tiba di rumah dinasnya, Jalan A. Rivai, Medan, Hoegeng mendapat kiriman sejumlah barang perabotan rumah tangga seperti mesin cuci, kulkas, mesin jahit dari para pengusaha Medan. Berbagai perabotan itu sudah ada di dalam rumah dinasnya. Awalnya, Hoegeng menolak secara halus agar si pengirim barang segera mengambilnya kembali barang-barang tersebut. Jika tidak diambil, Hoegeng akan mengeluarkannya dari rumah.
Si pengusaha tetap bersikeras tak mau mengambilnya. Hoegeng pun mengancam akan mengeluarkannya. Akhirnya, Hoegeng mengeluarkan sendiri barang-barang tersebut karena tak diambil juga oleh pengusaha.
Hoegeng meletakkan begitu saja sejumlah barang tersebut di depan rumahnya. Berhari-hari sejumlah barang tersebut tak ada yang mengambil hingga akhirnya rusak terkena hujan dan panas matahari. Hoegeng dan istrinya, Meriyati Roeslani benar-benar membuat sejumlah barang itu menjadi tidak bernilai. Lantaran tak mau kompromi, ancaman pembunuhan tak jarang dihadapi oleh Hoegeng. Salah satunya, saat Hoegeng dijadikan sasaran sniper atau penembak jitu ketika bertugas di kawasan pinggiran hutan di Kota Medan. Akan tetapi, Hoegeng tak menceritakan dalam kasus apa dia dijadikan sasaran tembak. Hoegeng juga tidak menceritakan siapa pelaku penembakan itu.
"Hoegeng memang pernah ditembaki sniper. Untungnya, tak ada yang mengenai sasaran. Rupanya, Hoegeng dijadikan sasaran tembak karena Hoegeng tak pernah mau kompromi," kata Hoegeng dikutip dari buku Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono. Meski Hoegeng lolos dari maut, pelaku penembakan itu juga tak berhasil ditangkap karen melarikan diri. Ya, Hoegeng memang sering keluar masuk daerah di Medan untuk menyergap pelaku perjudian dan penyelundupan. Tak jarang, ada oknum polisi atau tentara yang tertangkap menjadi backing dalam penyergapan itu. Ada yang terluka karena melarikan diri dan jatuh saat menghindari penyergapan tersebut. Menurut Hoegeng, jika ada aparat penegak hukum yang bertugas di Medan, dan tak mau kongkalikong dengan para pengusaha hitam, biasanya penugasannya memang tak mulus. Bahkan, bisa jadi tugasnya tak bakal berlangsung lama.
Hoegeng pernah dipanggil ke Jakarta untuk menjelaskan sejumlah kasus penyelundupan yang kerap ditanganinya. Hoegeng memang pada akhirnya ditarik kembali ke Jakarta pada 1960. Sebelum ditarik ke Jakarta, Hoegeng sempat mengikuti pendidikan Brigade Mobil (Brimob) pada 1959 di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Hoegeng menyatakan bangga sepulangnya bertugas di Medan karena semuanya bisa dilakukan sesuai aturan dan prinsip hidupnya yang sederhana, jujur, dan tegas meski berisiko dengan keselamatan jiwanya.
Pura-pura jadi monyet Sementara itu, Hoegeng punya hobi memelihara binatang. Dia pernah memelihara burung, ayam, monyet, orang utan, dan siamang.
Orang utan itu pemberian dari sejumlah orang, di antaranya dari Panglima Komando Pemulihan dan Keamanan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Soedomo. Orang utan itu pun diberi nama sesuai nama pemberinya, yaitu Soedomo. Namun, itu dilakukan bukan untuk menghina Soedomo, melainkan justru untuk menghargai para pemberinya sekaligus untuk mengingat orang-orang yang dinilainya baik memberikan hewan untuk dipeliharanya.
Tiga orang utan itu bertahun-tahun diurus seolah seperti anaknya sendiri. Bermain dan memeluk-memeluk orang utan itu acapkali dilakukan Hoegeng jika di rumah. Suatu saat, salah satu orang utan itu lepas dan masuk pekarangan rumah tetangganya. Pengurus rumah tangganya mengejar ke rumah tetangga itu, namun orang utan itu justru naik ke atas genteng. Orang utan itu juga tidak turun saat dipanggil-panggil.
Pengurus rumah tangga Hoegeng itu pun bingung dan melaporkan hal tersebut ke Hoegeng. Hoegeng pun menuju ke rumah tetangganya. Hoegeng pun meminta izin tetangganya untuk naik ke genteng. Tiba di genteng, Hoegeng segera memanggil-manggil orang utan itu agar menghampirinya. Akan tetapi, orang utan itu tetap bergeming. Hoegeng pun tak kehilangan akal. Dia mengatur strategi. "Hoegeng pura-pura jadi monyet dengan menirukan gaya dan suara monyet, Mas Dharto. Mungkin karena dikira masih saudaranya, orang utan itu tiba-tiba mau. Dia mendekat dan minta dipeluk. Hoegeng pun langsung memeluk dan membawanya turun," ujar Hoegeng yang saat bercerita seraya menirukan gaya monyet kepada Dharto.
Namun, orang-orang utan yang dimiliki Hoegeng akhirnya diserahkan kepada petugas perlindungan binatang ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang mengenai larangan memelihara hewan-hewan langka. Hoegeng harus menaati semua aturan yang ada meski sedih harus kehilangan hewan kesayangannya itu.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait