JAKARTA, iNewsBelu.id - Ketua DPR Puan Maharani menyoroti fenomena kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia menegaskan perempuan berhak menentukan pilihannya karena hal tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Dalam menentukan pasangan hidup, kaum perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga tidak boleh ada paksakan dari pihak manapun," kata Puan, Selasa (12/9/2023).
Berkaca dari peristiwa itu, Puan berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan. Puan memahami pentingnya menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia, namun dia mengingatkan jangan sampai budaya mencederai hak-hak perempuan.
"Harus ada solusi yang memadukan dua hal ini. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah berdialog dengan pemangku adat setempat dan masyarakat untuk mencari alternatif yang tidak melanggar hak asasi manusia," ujarnya.
Puan mengingatkan, tradisi kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan. Selain itu juga menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban hingga memicu dampak traumatis.
"Segala bentuk tindakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada perempuan yang mengatasnamakan budaya harus disikapi dengan bijak, untuk itu perlunya pemerintah turun tangan memfasilitasi lewat pendekatan yang humanis," tuturnya.
Berdasarkan data Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan), tercatat sejak 2013-2023 sudah terjadi 20 kasus kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, NTT. Namun yang terdata rinci hanya 16 kasus.
Dari data tersebut, korban kawin tangkap rata-rata berusia 13-30 tahun di mana yang paling rentan perempuan remaja berusia 13, 16, dan 17 tahun. Puan menyebut praktik kawin tangkap pun melanggar UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Sekarang kita sudah memiliki UU TPKS yang mengatur adanya larangan perkawinan paksa. Aturan ini harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama tokoh agama dan tokoh adat di daerah-daerah,” ujar mantan Menko PMK itu. “Sehingga setiap pelaku yang terlibat pada kawin tangkap akan berurusan dengan hukum, karena melakukan pemaksaan perkawinan,” tutur Puan.
Larangan pemaksaan perkawinan tertuang dalam Pasal 10 UU TPKS dengan ancaman bagi pelaku penjara paling lama sembilan tahun dan denda Rp 200 juta. Pada pasal itu turut mengatur pemaksaan perkawinan termasuk dengan pemaksaan perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
“Jadi budaya kawin paksa ini merupakan hal yang melanggar undang-undang dan bisa dipidana,” ucap Puan.
Puan mengatakan perlunya sosialisasi masif dari pemerintah mengenai UU TPKS, khususnya pemerintah daerah (Pemda) yang wilayahnya memiliki budaya kawin paksa mengingat budaya tersebut telah berlangsung lama.
“Saya juga mendukung langkah aparat penegak hukum yang cepat tanggap dengan mengusut kasus kawin tangkap di Sumba Barat Daya,” tuturnya. Dari kasus kawin tangkap yang baru saja terjadi itu, polisi telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka dan dianggap telah melakukan penculikan. Para pelaku sudah diamankan di Polres Sumba Barat Daya serta dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 10 UU TPKS.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait