JAKARTA, iNews.id - Prajurit-prajurit Kopassus (Komando Pasukan Khusus) ini menjadi legenda di medan tempur karena kontribusi mereka dalam operasi. Ada empat prajurit Baret Merah yang dibahas dalam tulisan ini. Seperti diketahui, Kopassus menorehkan banyak prestasi atau pencapaian seperti operasi di Timor Timur, Operasi Dwikora, pembebasan sandera Pesawat Garuda Indonesia di Thailand pada 1981, hingga melatih berbagai pasukan elite negara lain. Operasi-operasi tersebut mengangkat beberapa nama atas kontribusi mereka, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa.
Berikut empat prajurit Kopassus yang menjadi legenda di medan tempur:
1. Pratu Suparlan
Kisah Pratu Suparlan diceritakan di Majalah Baret Merah edisi April 2014 sebelum diunggah di laman resmi Kopassus. Kisah heroiknya dalam operasi militer di Timor Timur pada 9 Januari 1983 membuat Suparlan dikenal sebagai rambonya Indonesia.
Saat itu satu unit tentara gabungan Nanggala-LII Kopassandha (nama lama dari Kopassus) berpatroli di KV 34-34/Kompleks Liasidi yang terkenal rawan. Kawasan ini merupakan sarang pentolan pemberontak Fretilin (sayap militer terlatih Timor Timur) yang tidak segan menghabisi anggota TNI. Saat patroli berlangsung, pasukan Fretilin berjumlah sekitar 300 personel bersenjata lengkap mengadang pasukan TNI dari ketinggian. Mereka menyerang secara mendadak menyebabkan banyak prajurit TNI yang gugur. Mengetahui hal ini, komandan tim (dantim) segera menginstruksikan pasukan yang tersisa untuk melarikan diri lewat celah bukit.
Namun, di waktu yang tersisa, Suparlan justru maju untuk mengadang musuh sementara rekan pasukannya menyelamatkan diri. Dengan senapan mesin milik rekannya yang gugur, dia menerjang pasukan Fretilin. Meskipun banyak peluru yang mengoyak tubuhnya, Suparlan tetap merangsek maju, membalas peluru musuh hingga amunisi di tangannya habis. Tidak berhenti di situ meskipun pelurunya habis, dia menggunakan pisau komando berlari ke semak belukar. Dengan pisau itu Suparlan merobohkan enam pasukan musuh. Meskipun tenaganya habis dan tubuh penuh luka, dia tidak kehabisan akal. Dia melompat bersama dua granat yang pinnya telah dicabut ke arah kerumunan Fretilin sambil berteriak, 'Allahu Akbar!!!'. Pasukan lawan pun roboh, bersamaan dengan gugurnya sang prajurit pemberani tersebut. Dalam peristiwa ini, tujuh prajurit Kopashanda lain dinyatakan tewas, sementara di kubu Fretilin tercatat 83 personel tewas. Jasad Pratu Suparlan ditemukan dalam kondisi tak utuh. Atas jasanya, pemerintah kemudian menganugerahkan penghargaan Bintang Sakti pada Kopda Suparlan melalui Keppres No 20/TK/TH.1987.
2. Agus Hernoto
Aksi heroik prajurit Kopassus ini membuat satu kakinya hilang. Agus Hernoto merupakan veteran Operasi Trikora yang tertembak di Merauke, Irian Barat (kini Papua). Sebagai prajurit Kopassus, Agus mengajukan diri untuk ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat. Dalam Operasi Benteng Ketaton yang berlangsung pada pertengahan 1962, pasukan melakukan terjun payung dengan sasaran utara Fakfak. Beberapa prajurit mendarat di pepohonan, sementara yang lain di tanah. Mereka segera terlibat kontak senjata dengan Belanda, menyebabkan tiga orang gugur dan beberapa anggota lain terluka tembak. Beberapa prajurit yang selamat, melarikan diri ke hutan. Agus Hernoto tertembak dan dibawa oleh pasukan medis Belanda. Alih-alih diobati, dia malah dijadikan tawanan di Sorong dan mengalami penyiksaan. Agus tetap menolak membocorkan informasi sehingga terus-menerus disiksa. Dia juga tidak mendapatkan perawatan layak sehingga luka-luka di kakinya membusuk dan mengeluarkan belatung. Dengan peralatan medis seadanya, Agus rela diamputasi. Karena kondisinya, Agus Hernoto kemudian dikeluarkan oleh pimpinan pasukan. Benny Moerdani selaku rekan dan atasannya mencoba membela, namun ikut dikeluarkan. Keduanya kemudian bertemu kembali dalam tim Operasi Khusus. Meskipun terhalang keterbatasan fisik, Agus Hernoto selalu berperan aktif dalam operasi intelijen seperti Operasi Komodo. Atas jasanya, dia mendapat anugerah kehormatan Bintang Sakti pada 1987, saat itu berpangkat kolonel dengan jabatan Pamen BAIS ABRI.
3. Achmad Kirang
Letnan Satu (Lettu) Infanteri Anumerta Achmad Kirang merupakan salah satu anggota pasukan Kopasshanda yang ambil bagian dalam operasi pembebasan sandera pesawat Garuda DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Thailand, pada 31 Maret 1981. Pesawat Garuda dibajak lima orang anggota Komando Jihad. Seharusnya pesawat ini mendarat di Medan, namun kelima pembajak membelokkan laju pesawat menuju Kolombo, Sri Lanka, sebelum mendarat di Bangkok. Dalam aksi pembebasan yang berlangsung hanya 3 menit ini, para pembajak ditembak mati dan tidak ada sandera yang terluka. Namun, salah seorang pembajak yang bernama Mahrizal sempat menembak jatuh Achmad Kirang dan melukai perut bawahnya. Achmad dan Kapten Pilot Herman Rante tewas beberapa hari kemudian setelah mendapat perawatan medis dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional. Kopassus juga mendirikan monument Achmad Kirang di Markas Sat-81 Gultor Cijantung.
4. RA Fadillah
Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Cijantung, Jakarta Timur. RA Fadillah merupakan salah satu kapten Kopassus yang gugur saat menumpas Gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Riau pada 1958. Dia memimpin Kompi B yang mendarat di Bengkalis untuk menguasai pertahanan musuh di Lubuk Jambi, Riau, sekaligus mengamankan ladang minyak yang tersebar di Pekanbaru. Resimen ini harus menghadapi tantangan berat dengan melintasi sungai lebar dan hutan rawa ketika diguyur hujan. Karena medan yang berat, rencana penyergapan yang awalnya direncanakan pukul 09.00 WIB urung terlaksana karena pasukan baru tiba pukul 12.00 WIB. Ketika sampai, Desa Cangar yang menjadi markas musuh telah dikosongkan. Kelompok RA Fadillah tiba-tiba bertemu dengan pasukan musuh yang berjumlah banyak. Pasukan kemudian dihujani peluru selama 3 menit tanpa henti. Angkatan Udara mengirimkan pesawat B-25 untuk memberikan bantuan tembakan udara, namun pilotnya terkena tembakan sehingga pesawat harus kembali ke pangkalan di Tanjung Pinang. Pasukan pemberontak akhirnya bisa dipukul mundur. Namun, RA Fadillah bersama seorang prajurit Kopassus lainnya tertembak dan gugur pada 2 April 1958.
Editor : Stefanus Dile Payong
Artikel Terkait